POLEMIK ATURAN FCTC: - Asing Diduga Masuk ke Produsen Tembakau

 

Jakarta-Polemik seputar Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) kembali mencuat, memantik kekhawatiran akan potensi intervensi pihak tertentu. Perjanjian internasional ini dinilai menyusup secara halus, meski tidak diratifikasi secara resmi oleh Pemerintah Indonesia sejak terbentuknya pada tahun 2002.

NERACA

FCTC dipandang sebagai alat tekanan terhadap negara-negara produsen tembakau. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan ekosistem pertembakauan yang kuat dan bersejarah, secara tegas menolak meratifikasi perjanjian tersebut.

Ahli Hukum Internasional  Prof. Hikmahanto Juwana, menilai keputusan Indonesia untuk tidak meratifikasi FCTC sebagai bentuk nyata perlindungan terhadap kedaulatan nasional. “Mereka mencoba melakukannya untuk meminta Indonesia tidak meratifikasi, tapi mengadopsi,” ujarnya, Rabu (28/5). 

Menurut dia, terdapat upaya untuk menyisipkan ketentuan-ketentuan FCTC,  meskipun Indonesia secara resmi menolak perjanjian tersebut. Ia menyebut hal ini sebagai bentuk penjajahan model baru, di mana intervensi dilakukan bukan melalui kekuatan militer, melainkan melalui instrumen hukum internasional.

“Sekarang dia tidak menggunakan asas konkordansi yang dibenarkan melalui alat kolonialisme, tetapi sekarang itu disebut sebagai penjajahan model baru menggunakan perjanjian internasional untuk melakukan intervensi terhadap kedaulatan suatu negara,” ujar Guru Besar Hukum UI itu seperti dikutip Liputan6.com. 

Sebagai pembanding, dia mengangkat sikap tegas Amerika Serikat dalam menghadapi perjanjian internasional. Meski aktif dalam perumusan berbagai konvensi global, Amerika Serikat dikenal selektif dan tidak segan menolak perjanjian yang dianggap bertentangan dengan kepentingan nasionalnya.

“Nah, jadi kita pun harus seperti Amerika Serikat yang tahu betul apa arti dari suatu kedaulatan. Kalau misalnya kepentingan nasional kita terganggu dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara internasional, kita akan mengatakan kita tidak akan ikut dalam perjanjian tersebut,” tegas dia. 

Sebelumnya, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) mengaku resah dengan adanya intervensi pihak asing dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), yang memuat soal kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek. Dugaan muncul bahwa Rancangan Permenkes tersebut mengadopsi agenda asing melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang disusun oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Sekretaris Jenderal DPN Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Kusnadi Mudi, menilai terdapat intervensi asing yang bermaksud mengacak-acak keberlangsungan pertanian tembakau nasional.

Keluhan itu muncul akibat langkah Kemenkes yang secara tidak langsung mengadopsi pasal-pasal FCTC dalam Rancangan Permenkes, seperti munculnya wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek. Padahal, Indonesia sama sekali tidak meratifikasi aturan asing tersebut.

"Indonesia sebagai negara berdaulat dan mandiri, seharusnya tidak perlu mengikuti aturan dan campur tangan asing dalam mengelola komoditas andalannya," kata Mudi, Kamis (27/2). 

Menurut dia, niatan kelompok-kelompok tertentu seperti LSM anti-tembakau yang terus mendorong Indonesia untuk meratifikasi FCTC, tidak sesuai dengan kondisi ekosistem pertembakauan nasional. Dimana sektor ini telah menjadi sumber penghidupan bagi sekitar 6 juta tenaga kerja, mulai dari hulu sampai hilir.

Industri Padat Karya

Industri tembakau merupakan industri prioritas padat karya yang menggerakan ekonomi nasional serta melibatkan berbagai unsur mulai dari petani, manufaktur, rantai distribusi, ritel, hingga ekspor. "Kami berharap Presiden Prabowo Subianto dapat melihat dan menyadari dorongan ratifikasi FCTC yang diadopsi melalui berbagai aturan yang restriktif di Rancangan Permenkes. Aturan-aturan tersebut tidak sesuai dengan kompleksitas ekosistem pertembakauan di dalam negeri," ujarnya. 

Aturan tersebut, yang menggunakan FCTC sebagai dasar acuan, disinyalir merupakan upaya intervensi lembaga-lembaga anti tembakau asing untuk mematikan sektor tembakau di Indonesia.

Maka, pemerintah perlu menjaga kedaulatan negara serta melindungi warga negaranya, termasuk petani, untuk mendapatkan hak pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana perlindungan kepada petani yang dimandatkan dalam UU Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014.

PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes juga terus menuai penolakan dari berbagai pihak, termasuk sejumlah asosiasi petani, karena dinilai tidak transparan dalam proses perumusannya serta tidak melibatkan seluruh pihak yang terdampak.

Aturan tersebut juga dinilai memberikan imbas negatif yang besar terhadap sektor pertembakauan di Indonesia, mulai dari meningkatnya angka pengganguran dan kemiskinan, hingga meningkatnya peredaran rokok ilegal karena hilangnya identitas merek dari produk tembakau.

Sebelumnya, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menolak keras dorongan ratifikasi  FCTC di Indonesia. Traktat yang digadang oleh lembaga-lembaga anti tembakau asing tersebut dinilai tidak sesuai dengan kompleksitas kondisi sosial dan ekonomi industri hasil tembakau di Indonesia, di mana keseluruhan rantai ekosistemnya yang melibatkan lebih dari enam juta masyarakat Indonesia merupakan penggerak ekonomi nasional, mulai dari petani, manufaktur, rantai distribusi, ritel, hingga ekspor.

Sekretaris Jenderal HKTI, Sadar Subagyo, menekankan pentingnya membuat regulasi nasional yang lebih adil dan berimbang, terutama untuk melindungi mata pencaharian jutaan petani tembakau dan petani cengkeh serta keberlangsungan industri hasil tembakau nasional.

Sebab, saat ini mayoritas hasil produksi petani tembakau dan cengkeh diserap secara langsung oleh industri hasil tembakau, sehingga petani sangat bergantung pada keberlangsungan industri tersebut.

 “Jadi, jangan ada lagi aturan yang menekan industri tembakau, seperti dorongan ratifikasi FCTC saat ini. Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dari negara-negara lain. Kita perlu aturan nasional sendiri yang lebih cocok dengan situasi khas Indonesia,” ujar  Sadar beberapa waktu lalu. 

Sadar melanjutkan kebijakan yang diadopsi di Indonesia untuk industri hasil tembakau harus disesuaikan dengan situasi dan konteks yang ada di dalam negeri, di mana industri tembakau memiliki sejarah panjang dan berperan penting dalam menggerakan perekonomian, termasuk mendorong kemajuan hilirisasi dan industrialisasi bernilai tambah yang notabene salah satu program prioritas Asta Cita di pemerintahan berikutnya.

Oleh sebab itu, ia meminta pemerintahan baru yang akan dipimpin oleh Presiden Terpilih Prabowo Subianto, yang juga merupakan Ketua Dewan Pembina HKTI dan mantan Ketua Umum DPN HKTI dua periode (2004-2010, 2010-2015), agar lebih memperhatikan nasib petani tembakau dan memberikan kebijakan yang lebih adil bagi para petani tembakau. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

Percepat Hilirisasi Melalui Optimalisasi HPM

NERACA Jakarta — Pemerintah terus memperkuat komitmennya dalam mendorong industrialisasi dan peningkatan nilai tambah sumber daya alam nasional melalui kebijakan…

Sekolah Gratis, Ada Khawatir Kondisi Anggaran Terbatas

NERACA Jakarta - Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Muhammad Sarmuji mengaku khawatir negara tidak akan sanggup menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi…

INDUSTRI PERHOTELAN TERANCAM: - Sekitar 70 Persen Hotel di Jakarta Lakukan PHK

  Jakarta-Badai pemutusan hubungan kerja ( PHK) kini mengancam industri perhotelan di Indonesia, termasuk Jakarta. Sebanyak 70 persen pelaku usaha…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

POLEMIK ATURAN FCTC: - Asing Diduga Masuk ke Produsen Tembakau

  Jakarta-Polemik seputar Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) kembali mencuat, memantik kekhawatiran akan potensi intervensi pihak tertentu. Perjanjian internasional…

Percepat Hilirisasi Melalui Optimalisasi HPM

NERACA Jakarta — Pemerintah terus memperkuat komitmennya dalam mendorong industrialisasi dan peningkatan nilai tambah sumber daya alam nasional melalui kebijakan…

Sekolah Gratis, Ada Khawatir Kondisi Anggaran Terbatas

NERACA Jakarta - Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Muhammad Sarmuji mengaku khawatir negara tidak akan sanggup menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi…