NERACA
Jakarta - Pengusaha mengaku kapok ikut menggarap proyek infrastruktur dan layanan publik pemerintah dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Menyikapi hal itu, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan, skema KPBU sebenarnya dirancang sebagai jalan tengah antara keterbatasan anggaran negara dan kebutuhan besar akan pembangunan infrastruktur. Di atas kertas, KPBU terlihat indah di mana pemerintah menyiapkan proyek dan swasta masuk dengan modal dan keahlian. Kemudian hasilnya adalah pembangunan yang lebih cepat, efisien, dan berkelanjutan.
Namun, kenyataannya tak seindah itu ketika di lapangan. "Pengusaha swasta menghadapi kerumitan birokrasi, inkonsistensi kebijakan, dan ketidakpastian dalam pengembalian investasi. Bahkan proyek-proyek yang tampak menjanjikan di awal bisa berubah menjadi jebakan likuiditas karena struktur risiko yang tidak proporsional," katanya seperti pada keterangannya di Jakarta, Rabu (4/6).
Menurutnya, dunia usaha bekerja dengan asumsi rasionalitas dan perhitungan risiko. Sedangkan dalam banyak kasus KPBU, yang mereka temukan justru adalah ketidakpastian dalam segala aspek, mulai dari waktu pelaksanaan proyek yang molor, perubahan aturan yang mendadak, hingga janji insentif fiskal yang tak kunjung datang. Maka, tak heran jika akhirnya banyak pengusaha yang merasa KPBU hanya lah skema ideal yang buruk dalam eksekusi.
Achmad mengingatkan keluhan pengusaha tersebut tidak boleh dianggap angin lalu, karena berpotensi mengganggu kelanjutan agenda pembangunan infrastruktur nasional. Apalagi APBN tidak memiliki ruang fiskal yang cukup luas untuk membiayai sendiri megaproyek infrastruktur. "Jika tren ini berlanjut dan sektor swasta semakin enggan terlibat dalam proyek infrastruktur, kita menghadapi risiko sistemik yang serius," katanya.
Menurutnya, tanpa keterlibatan swasta, pembangunan infrastruktur bisa terganggu. Padahal infrastruktur bukan hanya soal pembangunan fisik, tapi juga urat nadi pertumbuhan ekonomi. Ketika jalan tak terbangun maka distribusi barang terhambat. Begitu pula jika pelabuhan mangkrak maka ekspor jadi mandek dan jika pembangunan bendungan tertunda maka lahan pertanian bisa kekeringan.
Hal serupa juga di ungkapkan Kepala Center Makroekonomi dan Keuangan INDEF M Rizal Taufikurahman. Menurutnya, skema KPBU pada dasarnya dimaksudkan sebagai jembatan antara keterbatasan fiskal negara dan kebutuhan pembangunan infrastruktur nasional.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa KPBU lebih menyerupai labirin birokrasi ketimbang kolaborasi simbiosis. Kesannya, KPBU hanya medium transfer beban anggaran, tetapi tanpa didukung jaminan hukum yang pasti.
"Skema ini sering membebankan risiko terlalu berat di pundak swasta. Mulai dari risiko permintaan, teknis, hingga ketidakpastian politik yang tidak di-cover memadai oleh mekanisme jaminan pemerintah. Alih-alih menjadi ekosistem kolaboratif, KPBU terperangkap dalam logika 'transfer beban fiskal", bukan 'bagi untung risiko'," katanya.
Di sisi lain, pemerintah daerah sering tak punya kapasitas fiskal dan komitmen politik untuk mendukung keberlanjutan proyek. Akumulasi ini membuat swasta menilai bahwa risiko mereka tak hanya finansial, tetapi juga institusional. "Artinya secara kombinasi yang tidak akan dilirik oleh investor yang rasional," katanya.
Sebelumnya, Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo bercerita, dirinya mengaku mendapat bisikan dari Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman Dhony Rahajoe terkait hal itu. "Pak Dhony sempat bisik-bisik kalau swasta agak kapok bermain KPBU. Ini nanti bisa didiskusikan kapoknya bagaimana," kata Dody.
Berdasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, proyeksi kebutuhan investasi infrastruktur pada periode RPJMN 2025-2029 mencapai Rp 1.905 triliun. Dengan keterbatasan fiskal pada hari ini, baik itu APBN maupun APBD, diperkirakan masih terdapat funding gap sebesar Rp 753 triliun. agus
Jakarta-Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI Mufti Anam mengritik keras terkait batalnya diskon tarif listrik bagi masyarakat. Dia…
NERACA Jakarta – Pemerintah telah merilis lima paket stimulus untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Namun begitu, Direktur Eksekutif…
Jakarta-Pemerintah menunda penerapan sistem kelas rawat inap standar (KRIS) BPJS Kesehatan, yang seharusnya mulai 1 Juli 2025, diundur hingga akhir…
NERACA Jakarta - Pengusaha mengaku kapok ikut menggarap proyek infrastruktur dan layanan publik pemerintah dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan…
Jakarta-Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI Mufti Anam mengritik keras terkait batalnya diskon tarif listrik bagi masyarakat. Dia…
NERACA Jakarta – Pemerintah telah merilis lima paket stimulus untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Namun begitu, Direktur Eksekutif…