Wakil Menteri (Wamen) dan Urgensi Larangan Rangkap Jabatan

 

Oleh:  Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta

 

Mengapa pejabat publik yang seharusnya mengawasi BUMN justru duduk sebagai komisaris di perusahaan yang diawasi? Apakah ini bentuk efisiensi birokrasi atau justru praktik kekuasaan yang menyimpang dari semangat reformasi?

Nama-nama seperti Fahri Hamzah (Komisaris BTN), Nezar Patria (Komisaris Utama Indosat), Angga Raka Prabowo (Komisaris Utama Telkom), Ahmad Riza Patria (Komisaris Telkomsel), hingga Diaz Hendropriyono (Komisaris Utama Telkomsel) mengisi daftar panjang pejabat kementerian yang juga merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN.

Di atas kertas, semua ini sah. Tapi di mata publik yang lapar akan keadilan, pertanyaan itu tetap bergema: untuk siapa kekuasaan ini bekerja?

Inilah yang sedang terjadi ketika pejabat publik yang bertugas menyusun kebijakan dan mengawasi jalannya korporasi negara juga duduk sebagai pengambil keputusan strategis di dalam perusahaan yang sama.

Seorang wakil menteri atau pejabat kementerian memiliki kewenangan regulatif dan administratif. Ketika orang yang sama duduk sebagai komisaris, maka ia menjadi bagian dari struktur yang seharusnya ia awasi.  Tidak ada mekanisme check and balance yang sehat ketika pengawas juga merangkap sebagai pelaksana. Konflik kepentingan yang dibiarkan tumbuh ini pada akhirnya mencederai integritas institusi.

BUMN tidak lagi menjadi entitas profesional yang mengejar efisiensi dan pelayanan publik, melainkan alat distribusi kekuasaan dan loyalitas politik. Logika meritokrasi dikalahkan oleh logika patronase.

Salah satu fungsi utama dewan komisaris adalah melakukan pengawasan terhadap direksi.  Tapi bagaimana jika komisaris itu berasal dari kementerian yang justru menerbitkan regulasi atau memiliki kepentingan politik tertentu?  Maka proses pengawasan menjadi seremonial. Ia tumpul karena tidak independen.

Lebih jauh, publik patut khawatir: bagaimana jika keputusan bisnis perusahaan—termasuk ekspansi, pinjaman jumbo, atau konsesi strategis—justru diarahkan untuk memenuhi agenda kementerian, bukan kebutuhan korporasi?  Karena dalam jangka panjang, bukan hanya perusahaan yang dirugikan. Ekosistem pasar, integritas kebijakan, dan kepercayaan publik pun ikut terdegradasi.

Jika larangan rangkap jabatan bagi menteri sudah menjadi norma dalam sistem pemerintahan, maka semestinya asas dan semangat yang sama juga diberlakukan kepada wakil menteri. Sebab Wamen  bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian dari arsitektur kekuasaan eksekutif yang memiliki pengaruh besar terhadap arah kebijakan kementerian.

Justru dalam beberapa kasus, wakil menteri memiliki ruang gerak yang lebih bebas dan tidak terlalu terpantau publik, sehingga potensi konflik kepentingannya jauh lebih tersembunyi namun berbahaya.

Dalam sistem demokrasi modern, akuntabilitas adalah tulang punggung tata kelola. Publik berhak mengetahui siapa bertanggung jawab atas keputusan yang diambil negara.

Namun rangkap jabatan menciptakan ambiguitas peran. Seorang pejabat yang juga komisaris bisa berdalih sebagai regulator jika kebijakan perusahaan dikritik.  Sebaliknya, jika kebijakan kementerian dinilai berpihak, ia bisa bersembunyi di balik status komisaris yang hanya  “menjalankan keputusan kolektif”. Akuntabilitas yang terpecah ini menyulitkan rakyat untuk menuntut tanggung jawab.

Di sisi lain, media dan lembaga pengawas sipil mengalami kesulitan untuk menelusuri jejak kepentingan di balik keputusan strategis BUMN.  Akibatnya, praktik rangkap jabatan ini menjelma menjadi perisai kekuasaan, bukan instrumen pelayanan publik.

Sayangnya, kekosongan norma hukum dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menempatkan wakil menteri sebagai komisaris BUMN, dengan dalih bahwa aturan eksplisit tidak melarang.

Padahal, dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi UU Kementerian Negara, meskipun permohonan ditolak, MK dalam pertimbangan hukumnya menegaskan bahwa Wamen  semestinya diperlakukan setara dengan menteri dalam hal menjaga integritas dan independensi jabatan.

Artinya, secara moral dan logika tata kelola, tidak ada justifikasi yang sah untuk memperbolehkan wakil menteri merangkap jabatan sebagai komisaris.

Praktik ini bukan hanya melemahkan pengawasan terhadap BUMN, tetapi juga menyuburkan budaya kekuasaan yang lentur terhadap batasan etika. Jika negara ingin membangun tata kelola yang bersih dan profesional, maka larangan rangkap jabatan harus diperluas, termasuk untuk wakil menteri sebagai bentuk komitmen terhadap integritas kelembagaan.

BERITA TERKAIT

Pemberantasan Narkoba Tanggung Jawab Kolektif Selamatkan Bangsa

    Oleh: Khalilah Nafisah, Pengamat Sosial Kemasyarakatan   Isu peredaran narkoba di Indonesia terus menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Pada…

Kesiapan Total Pemerintah Tekan Ancaman Karhutla

    Oleh: Ratna Soemirat,  Ahli Tata Kelola Lingkungan Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi ancaman serius bagi lingkungan, kesehatan,…

Paket Stimulus Baru Dorong Pertumbuhan Ekonomi

    Oleh: Dhita Karuniawati,  Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Dalam upaya mempercepat pemulihan dan mendorong pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pemberantasan Narkoba Tanggung Jawab Kolektif Selamatkan Bangsa

    Oleh: Khalilah Nafisah, Pengamat Sosial Kemasyarakatan   Isu peredaran narkoba di Indonesia terus menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Pada…

Kesiapan Total Pemerintah Tekan Ancaman Karhutla

    Oleh: Ratna Soemirat,  Ahli Tata Kelola Lingkungan Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi ancaman serius bagi lingkungan, kesehatan,…

Paket Stimulus Baru Dorong Pertumbuhan Ekonomi

    Oleh: Dhita Karuniawati,  Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Dalam upaya mempercepat pemulihan dan mendorong pertumbuhan…