PEMERINTAH BENTUK SATGAS IMPOR ILEGAL: - Mendag: Hati-hati Pedagang Jual 7 Barang Impor

 

Jakarta-Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memperingatkan para pedagang yang masih kerap menjual barang impor ilegal. Pasalnya, Kemendag telah berkolaborasi dengan instansi penegak hukum terkait telah memetakan titik peredaran barang-barang tidak sah tersebut khususnya terhadap 7 jenis barang impor:  tekstil dan produk tekstil (TPT), pakaian jadi, keramik, elektronik, kosmetik, barang tekstil jadi, dan alas kaki.

 NERACA

"Hati-hati, yang ilegal-ilegal, yang dagang-dagang barang impor enggak jelas, hati-hati, minggu-minggu ini kita akan terjang semua. Saya sudah detil nanti dari Kejaksaan, Kepolisian, dari pelaku usaha, dan seterusnya," tegas Zulkifli saat acara peluncuran Jakarta Muslim Fashion Week (JMFW) 2025 di  Jakarta, Rabu (17/7).

Mendag memastikan Satgas Impor Ilegal akan terbentuk pada akhir pekan ini. Pendirian satgas ini terjadi setelah dirinya mengadakan pertemuan dengan Jaksa Agung dan Kapolri pada Selasa (16/7).

"Yang main-main, yang masih mau ilegal untuk melindungi industri fesyen kita, pakaian jadi kita, kita akan melakukan peraturan yang terbaik. Kita lakukan penegakan hukum," ujarnya.

Adapun dalam pembentukan Satgas Impor Ilegal ini, pemerintah akan berfokus kepada 7 barang impor ilegal yang marak bertebaran di pasar Tanah Air. Antara lain, tekstil dan produk tekstil (TPT), pakaian jadi, keramik, elektronik, kosmetik, barang tekstil jadi, dan alas kaki.

Setelah bertandang ke Kejaksaan Agung dan Mabes Polri, Kementerian Perdagangan menurut rencana akan lanjut bertandang ke instansi terkait lain serta asosiasi pengusaha untuk mempercepat pembentukan Satgas Impor Ilegal.

"Tentu yang pertama saya datang, Kejaksaan, Kepolisian, kementerian terkait, (Kementerian) Perindustrian, Kadin. Jadi dari para pelaku usaha dan pengusaha jadi satu di bawah Kadin," ujar Zulkifli. .

Di lain sisi, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan, pihaknya juga telah menindak sejumlah kasus terkait barang impor ilegal. Jumlahnya ditenggarai bahkan lebih banyak dari 7 (tujuh) produk yang diminta.

"Alhamdulillah kita bersinergi nanti dengan Perdagangan. Saya mengharapkan ini nanti bukan hanya gebrakan, tapi sampai tuntas ke akar-akarnya, karena kita tahu jaringan-jaringannya. Insya Allah saya akan dukung apa yang disampaikan pak Menteri Perdagangan," ujarnya.  

Sebelumnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menuturkan, tindakan hukum sudah seharusnya cukup untuk menangani masalah impor ilegal. "Ya silahkan saja tapi namanya ilegal tidak sesuai dengan aturannya ya ditindak saja," ujarnya di Jakarta,pekan lalu.  

Dia menyoroti, pemerintah sebelumnya telah mempersiapkan berbagai langkah untuk mengontrol masuknya barang-barang ilegal ke Indonesia. "Pemerintah sudah beberapa kali mempersiapkan itu untuk melarang barang ilegal masuk," tambah Airlangga.

Namun, Airlangga tidak secara langsung menolak rencana pembentukan Satgas oleh Zulkifli Hasan. Dia menegaskan, penegakan hukum yang tegas harus menjadi prioritas utama. "Impor ilegal harus ditindak secara hukum saja sesuai dengan ketentuan yang berlaku," ujar Airlangga.

Relaksasi Impor

Sebelumnya, Ekonom Syarif Hidayatullah Jakarta Fahmi Wibawa menyampaikan perlu adanya aturan pengimbang relaksasi impor yang diterapkan guna lindungi industri pengolahan (manufaktur) dalam negeri.

"Jika pemerintah tidak bersikap imbang dengan mendukung industri manufaktur, dikhawatirkan badai manufaktur akan terjadi dalam waktu singkat di Indonesia. Perlu diketahui, tidak ada negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik dari tingginya impor di negara tersebut,” ujarnya seperti dikutip  Antara, belum lama ini.

Menurut dia, relaksasi impor yang diterapkan melalui Permendag 8/2024 dikhawatirkan bisa membuat industri dalam negeri semakin terpuruk karena terbanjiri oleh produk jadi impor. Selain itu dampak lain dari relaksasi perdagangan ini turut meningkatkan nilai impor, sehingga memberikan dampak buruk terhadap nilai tukar Rupiah yang terus menurun.

Fahmi menilai produk impor tetap dibutuhkan oleh Indonesia, dengan catatan barang yang dibeli merupakan bahan baku atau produk yang memiliki permintaan tinggi namun belum mampu diproduksi oleh industri domestik. "Artinya dukungan terhadap perdagangan internasional tidak harus dengan membuka pintu tanpa menyaring dengan bijak," katanya.

Menurut dia, aturan yang menggantikan larangan dan pembatasan (lartas) tersebut dinilai sebagai karpet merah untuk masuknya produk impor barang jadi ke pasar domestik, itu karena enam peraturan yang tertera di antaranya secara eksplisit menyiratkan relaksasi impor.

Dirinya merekomendasikan aturan relaksasi perdagangan internasional ini kembali dibahas dengan melibatkan asosiasi industri, serta kamar dagang di Indonesia. "Sebaiknya kembali direvisi dengan mengikutsertakan asosiasi-asosiasi industri dan kamar dagang, supaya duduk bersama guna mengetahui secara detail aspirasi dari kedua belah pihak. Karena jika kebijakan impor ini terelaksasi sangat luas, efek domino yang terjadi bukan main bahayanya,” ujarnya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani pernah mengatakan barang jadi impor menggerus pasar produk lokal. Padahal, secara persentase, jumlah impor bahan jadi tidak terlalu besar.

Shinta menguraikan, porsi paling besar impor adalah bahan baku dan bahan penolong yang ditaksir mencapai sekitar 75 persen. Sementara itu, impor barang jadi atau bahan jadi hanya sekitar 20 persen.

"Kalau kita lihat trennya ini sekarang yang semua lagi heboh adalah masuknya impor bahan jadi. Bahan jadi itu, itu tuh less than 20 persen, cuma 20 persen, sekarang," kata Shinta dalam Kajian Tengah Tahun Indef 2024 bertajuk “Presiden Baru, Persoalan Lama” di Jakarta, Selasa (25/6).

Dia mengungkap tantangannya datang dari harga jual pada produk impor tersebut. Dengan harga yang lebih murah dan kualitas produk yang hampir setara, membuat produk lokal kalah saing di pasar dalam negeri.

"Cuma yang jadi permasalahan itu harganya dan kualitasnya. Jadi harganya jauh lebih murah dan kualitasnya mungkin lebih baik daripada dalam negeri. Jadi bukan kualitas dalam negeri.. sama lah ya, tapi jelas harganya murah," bebernya.

Dia mengatakan, dengan murahnya barang impor itu, banyak pelanggan beralih. Alhasil, semakin banyak produk impor yang masuk ke Indonesia berdasarkan pada permintaan tadi.

Shinta meminta permasalahan ini perlu menjadi perhatian bersama. Utamanya, pada pemerintah selanjutnya di bawah nakhoda Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. "Ini yang sesuatu yang menurut saya perlu diperhatikan karena kalau kita lihat apakah kita siap, mungkin industri dalam negeri ktia siap tapi dia tetap perlu produksi dengan bahan baku dari luar. Kita belum bisa sendiri," ujarnya. bari/mohar/fba.

BERITA TERKAIT

KEMENPERIN SEGERA MELAKUKAN: - Reformasi Tata Cara dan Tata Kelola TKDN

  Jakarta-Pemerintah melalui Perpres No. 46/2025 khususnya terkait besaran tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang semula minimal 40%, kini dapat…

Pertumbuhan Ekonomi Terkontraksi, Pemerintah Siapkan Strategi

  NERACA Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 hanya mencapai 4,87%, mengalami…

MESKI BERADA DI POSISI KEDUA SETELAH CHINA: - Pertumbuhan RI Kuartal I-2025 Hanya 4,87%

  Jakarta-Meski Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan di antara negara anggota G20, pertumbuhan ekonomi RI diposisi kedua setelah China. Data…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

KEMENPERIN SEGERA MELAKUKAN: - Reformasi Tata Cara dan Tata Kelola TKDN

  Jakarta-Pemerintah melalui Perpres No. 46/2025 khususnya terkait besaran tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang semula minimal 40%, kini dapat…

Pertumbuhan Ekonomi Terkontraksi, Pemerintah Siapkan Strategi

  NERACA Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 hanya mencapai 4,87%, mengalami…

MESKI BERADA DI POSISI KEDUA SETELAH CHINA: - Pertumbuhan RI Kuartal I-2025 Hanya 4,87%

  Jakarta-Meski Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan di antara negara anggota G20, pertumbuhan ekonomi RI diposisi kedua setelah China. Data…