Jakarta-Program Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang digulirkan pemerintah dinilai belum menyentuh mayoritas kelompok sasaran. Dalam rencana penyalurannya, BSU hanya ditujukan kepada 17,3 juta pekerja dengan gaji di bawah Rp 3,5 juta per bulan. Padahal, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis oleh Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, jumlah pekerja bergaji di bawah Rp 3,5 juta mencapai sekitar 95 juta orang.
NERACA
Dengan kata lain, cakupan BSU hanya menyasar sekitar 18% dari kelompok pekerja yang seharusnya mendapatkan bantuan tersebut. Diskrepansi besar ini mengindikasikan keterbatasan dalam skema BSU yang dirancang.
Dengan 75% dari total tenaga kerja Indonesia berada di kelompok bergaji rendah, bantuan yang menjangkau kurang dari seperlima dari mereka menimbulkan pertanyaan besar soal efektivitas program ini dalam meredam tekanan ekonomi.
CORE menekankan bahwa ketimpangan ini bisa menyebabkan ketidaktepatan sasaran dan menurunkan potensi stimulus ekonomi yang diharapkan dari bantuan sosial. “BSU yang disalurkan pemerintah hanya menjangkau sekitar 18% dari kelompok pekerja yang seharusnya menjadi target bantuan,” menurut laporan terbaru CORE, pekan ini.
Masalah lain dari penyaluran BSU adalah desain kebijakan yang belum menyentuh pekerja sektor informal. Salah satu syarat utama penerima BSU adalah harus menjadi peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan. Syarat ini secara otomatis mengecualikan jutaan pekerja informal seperti pedagang kaki lima, pengemudi ojek daring, buruh harian, tukang bangunan, dan pekerja lepas lainnya—kelompok yang juga sangat terdampak tekanan ekonomi.
Padahal, pekerja informal merupakan tulang punggung ekonomi sektor riil, terutama di daerah urban dan semi-urban. Mereka menghadapi ketidakpastian pendapatan harian, tidak memiliki perlindungan sosial, dan sangat rentan terhadap guncangan harga kebutuhan pokok. Tanpa skema perlindungan khusus, kelompok ini tetap terjebak dalam siklus kerentanan ekonomi yang terus berulang setiap terjadi krisis.
“Kelompok pekerja informal ini juga terdampak tekanan ekonomi, terutama dalam situasi harga kebutuhan pokok yang terus naik dan daya beli yang melemah,” menurut CORE.
Sebagai respon atas pelemahan daya beli, pemerintah mengalokasikan tambahan anggaran Rp 11,93 triliun dari APBN 2025 untuk mempertebal program bantuan sosial. CORE mencatat, tambahan bansos akan disalurkan melalui program Kartu Sembako sebesar Rp200 ribu per bulan selama Juni–Juli 2025 kepada 18,3 juta penerima. Selain itu, Keluarga Penerima Manfaat (KPM) juga akan mendapat 10 kg beras per bulan, atau total 20 kg selama dua bulan.
Langkah ini diharapkan dapat menahan laju penurunan konsumsi rumah tangga, setidaknya dalam jangka pendek. Namun, CORE mengingatkan bahwa jika target kebijakan ini juga mencakup stimulus ekonomi yang lebih luas, maka intervensi tidak boleh terbatas pada kelompok rentan saja. Perluasan cakupan hingga kelas menengah menjadi penting untuk menjaga daya dorong terhadap konsumsi domestik sebagai motor pertumbuhan ekonomi.
“Jika target stimulus juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, bantuan untuk kelompok kelas menengah juga tidak boleh terlewatkan,” tegas CORE dalam laporan tersebut.
Kelas menengah dan kelompok calon kelas menengah memiliki kontribusi lebih dari 50% terhadap konsumsi nasional. Namun dalam beberapa tahun terakhir, jumlah kelompok ini justru mengalami penyusutan, sementara bantuan sosial yang ditujukan khusus kepada mereka masih sangat minim. Dari lima stimulus pemerintah, hanya sedikit yang secara langsung menyasar kebutuhan kelompok ini.
Stimulus berupa diskon tarif tol dan transportasi yang sempat diberikan, termasuk saat mudik Lebaran 2025, dinilai belum cukup ampuh. Kementerian Perhubungan mencatat bahwa jumlah perjalanan dalam dan antarprovinsi justru turun 4,69% dibandingkan tahun sebelumnya. Ini menjadi indikator bahwa insentif yang diberikan belum mampu membangkitkan kembali konsumsi dari kelas menengah yang selama ini menjadi penopang utama perekonomian.
“Jumlah perjalanan selama Lebaran 2025 turun 4,69% dibandingkan tahun sebelumnya… Ini menunjukkan, insentif yang diberikan belum cukup efektif mendorong partisipasi masyarakat, khususnya dari kelompok kelas menengah,” tulis CORE.
Selain itu, banyak pekerja berupah rendah terhambat oleh persyaratan administratif yang sulit dipenuhi, meski mereka justru paling terdampak oleh kenaikan biaya hidup. "Pertanyaan mendasar muncul, apakah BSU ini benar-benar menyentuh mereka yang paling membutuhkan, atau hanya menjadi populis fiskal yang terlambat (too late, too little) untuk mengatasi tekanan biaya hidup yang kian membebani?" ujar ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat dalam keterangan tertulisnya.
Achmad menilai BSU seharusnya dapat memperkuat daya beli kelompok berpenghasilan rendah, yang cenderung langsung membelanjakan tambahan uangnya untuk kebutuhan pokok. Namun, karena basis data penerima hanya mengacu pada kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan, jutaan pekerja informal, honorer, dan sektor mikro terlewat. “Ketika data primer tidak valid, dampak langsung pada daya beli hanya menjadi angan,” ujarnya, kemarin.
Tidak Berdampak
Sebelumnya, pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai kebijakan insentif fiskal berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 6% untuk tiket pesawat kelas ekonomi kurang tepat sasaran. Pasalnya, mayoritas pengguna pesawat adalah masyarakat kelas menengah ke atas.
Menurut Djoko, kebijakan tersebut tidak memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan konsumsi masyarakat. "Enggak juga (tidak terlalu berpengaruh). Kenapa tiket pesawat yang diberikan insentif? Harusnya angkutan umum yang diberikan insentif. Kalau angkutan umum manfaatnya lebih besar,” ujarnya, Senin (16/6).
Djoko mengatakan, mayoritas pengguna pesawat adalah masyarakat kelas menengah atas yang dinilai tidak terlalu membutuhkan insentif. "Yang naik pesawat rata-rata orang kaya. Tapi orang yang butuh malah dipungut pajak ini-itu,” tutur dia.
Dia juga menyebut, insentif PPN ini belum menunjukkan dampak nyata, bahkan saat masa libur panjang sekalipun. "Enggak ada efek signifikan. Kalau diberi insentif buat angkutan umum mungkin akan berpengaruh karena banyak orang yang pakai. Misalnya beri insentif ke sopir angkot untuk subsidi bensin,” ujar Djoko seperti dikutip Liputan6.com.
Djoko mengungkapkan, insentif ini juga tidak berdampak besar terhadap peningkatan jumlah penerbangan dalam negeri. Lantaran, sebagian besar pengguna pesawat di Indonesia justru merupakan pegawai yang dibiayai perjalanannya oleh kantor. "Yang bayar pakai uang sendiri paling cuma 10 persenan. Kalau bisa pakai angkutan lain, mereka pasti pilih yang lain,” ujarnya.
Sebagai solusi, Djoko menyarankan agar pemerintah lebih memprioritaskan bantuan kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan. "Lebih baik memberikan insentif atau bantuan kepada supir angkot, supir truk, agar tidak dipungli. Itu lebih terasa manfaatnya,” ujarnya. bari/mohar/fba
NERACA Jakarta - Wakil Menteri (Wamen) Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Todotua Pasaribu menyebut kasus premanisme…
NERACA Jakarta - Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait membuka opsi rumah subsidi bukan berbentuk rumah tapak, melainkan…
Jakarta- Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kondisi ketidakpastian global berpotensi terjadi secara permanen. Hal itu disebabkan rezim bilateral antar…
NERACA Jakarta - Wakil Menteri (Wamen) Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Todotua Pasaribu menyebut kasus premanisme…
Jakarta-Program Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang digulirkan pemerintah dinilai belum menyentuh mayoritas kelompok sasaran. Dalam rencana penyalurannya, BSU hanya…
NERACA Jakarta - Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait membuka opsi rumah subsidi bukan berbentuk rumah tapak, melainkan…