Hakim Tolak Nota Keberatan Antonius Kosasih - Kasus Investasi Fiktif PT Taspen

NERACA

Jakarta  - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menolak nota keberatan alias eksepsi terdakwa Antonius Nicholas Stephanus Kosasih terkait kasus dugaan investasi fiktif di PT Taspen (Persero) pada 2019.

Hakim Ketua Purwanto Abdullah menyatakan surat dakwaan penuntut umum terhadap Antonius Kosasih telah memenuhi syarat formal dan materiel, sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 143 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). "Memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara a quo," kata Hakim Ketua seperti dikutip dari Antara, Jakarta, Selasa (17/6).

Hakim Ketua pun menyatakan bahwa Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili perkara Kosasih.

Adapun Majelis Hakim berpendapat bahwa surat dakwaan telah memenuhi syarat formal dengan mencantumkan identitas Kosasih secara lengkap dan syarat materiel dengan menguraikan secara cemat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu, tempat, cara perbuatan dilakukan, serta akibat yang ditimbulkan.

Disampaikan juga bahwa dalam ekspesi Kosasih maupun penasihat hukumnya, terdapat pula keberatan mengenai ketidaksesuaian tempus dan kedudukan hukum antara Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) atau Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dengan dakwaan.

Terkait keberatan itu, Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa SPDP dan Sprindik merupakan dokumen tahap penyidikan yang bersifat dinamis dan dapat berkembang seiring dengan temuan hasil penyidikan, sedangkan dakwaan merupakan konstruksi yuridis final berdasarkan keseluruhan hasil penyidikan.

Oleh karenanya, meskipun terdapat perbedaan ruang lingkup tempus dan jabatan antara SPDP dengan dakwaan, lanjut Hakim Ketua, namun hal tersebut tidak mengaburkan substansi perbuatan yang didakwakan, karena dakwaan telah menguraikan secara perinci peristiwa yang terjadi mulai tahun 2019 hingga 2023 dalam kedudukan Kosasih sebagai direktur investasi maupun direktur utama pada PT Taspen.

Selain itu berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA), Hakim Ketua menyebutkan terdapat syarat cermat, jelas, dan lengkap dalam surat dakwaan, yang harus dimaknai secara proporsional untuk kepastian hukum. "Dalam perkara ini, dakwaan telah memenuhi syarat tersebut dengan menguraikan waktu, tempat, cara, dan akibat perbuatan secara detail," tutur Hakim Ketua.

Selain menolak eksepsi Kosasih, Majelis Hakim turut menolak nota keberatan terdakwa Ekiawan Heri Primaryanto dalam kasus tersebut, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT IIM periode 2016—2024.

Dalam kasus itu, Kosasih dan Ekiawan didakwa merugikan negara sebesar Rp1 triliun. Keduanya diduga bersama-sama melakukan investasi fiktif untuk memperkaya diri, orang lain, maupun korporasi sehingga menyebabkan kerugian negara.

Secara perinci, kasus tersebut memperkaya Kosasih senilai Rp28,45 miliar, 127.037 dolar Amerika Serikat (AS), 283 ribu dolar Singapura, 10 ribu euro, 1.470 baht Thailand, 20 pound Inggris, 128 yen Jepang, 500 dolar Hong Kong, dan 1,26 juta won Korea, serta memperkaya Ekiawan sebesar 242.390 dolar AS.

Selain keduanya, perbuatan melawan hukum tersebut turut memperkaya Patar Sitanggang sebesar Rp200 juta, PT Insight Investment Management (IIM) Rp44,21 miliar, serta PT Pacific Sekuritas Indonesia Rp108 juta.

Beberapa pihak lain yang diperkaya dalam kasus itu, yakni PT KB Valbury Sekuritas Indonesia senilai Rp2,46 miliar, Sinar Emas Sekuritas Rp44 juta, dan PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk. (TPSF) Rp150 miliar.

Atas perbuatannya, kedua terdakwa terancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Adapun kronologi dari kasus ini berdasarkan hasil kalkulasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan bahwa kerugian negara akibat investasi fiktif PT Taspen (Persero)  Awalnya pihak KPK menghitung kerugian Rp 200 miliar. Kemudian, BPK diminta untuk menghitung  dan hasilnya sebesar Rp 1 triliun.  

BERITA TERKAIT

DPR Sebut JIka Pajak Rumah Tapak Naik Bisa Picu Krisis Hunian

NERACA Jakarta - Anggota Komisi V DPR RI, Irine Yusiana Roba Putri, menyampaikan penolakan tegas terhadap usulan Wakil Menteri Perumahan…

KPK Gandeng TVRI dan RRI - Perkuat Strategi Pencegahan Korupsi Lewat Penyiaran Publik

NERACA Jakarta - Membangun budaya antikorupsi bukan hanya tanggung jawab aparat penegak hukum, tetapi menjadi tugas bersama seluruh elemen bangsa.…

Kasus CPO - Kejagung Sita Uang Rp11 Triliun dari PT Wilmar Group

NERACA Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita uang sebesar Rp11 triliun dari terdakwa korporasi PT Wilmar Group terkait perkara dugaan…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Hakim Tolak Nota Keberatan Antonius Kosasih - Kasus Investasi Fiktif PT Taspen

NERACA Jakarta  - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menolak nota keberatan alias eksepsi terdakwa Antonius Nicholas Stephanus…

DPR Sebut JIka Pajak Rumah Tapak Naik Bisa Picu Krisis Hunian

NERACA Jakarta - Anggota Komisi V DPR RI, Irine Yusiana Roba Putri, menyampaikan penolakan tegas terhadap usulan Wakil Menteri Perumahan…

KPK Gandeng TVRI dan RRI - Perkuat Strategi Pencegahan Korupsi Lewat Penyiaran Publik

NERACA Jakarta - Membangun budaya antikorupsi bukan hanya tanggung jawab aparat penegak hukum, tetapi menjadi tugas bersama seluruh elemen bangsa.…