DPR Sebut JIka Pajak Rumah Tapak Naik Bisa Picu Krisis Hunian

NERACA

Jakarta - Anggota Komisi V DPR RI, Irine Yusiana Roba Putri, menyampaikan penolakan tegas terhadap usulan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Fahri Hamzah, yang mengusulkan penerapan pajak tinggi untuk rumah tapak di kawasan perkotaan. Menurut Irine, kebijakan tersebut berpotensi membebani masyarakat serta melemahkan industri properti nasional yang tengah berusaha bangkit pasca-pandemi.

“Pajak tinggi justru menciptakan biaya tinggi bagi pembeli. Akhirnya, penjualan rumah tapak anjlok. Ini memperberat bisnis properti secara keseluruhan dan pastinya semakin banyak masyarakat yang tidak bisa membeli hunian pribadi khususnya keluarga muda serta masyarakat dari kelas menengah” kata Irine dikutip di web resmi DPR, Selasa (17/6).

Seperti diketahui, Wamen PKP Fahri Hamzah mengusulkan pajak tinggi pada rumah tapak yang ada di perkotaan untuk mendorong masyarakat perkotaan tinggal di hunian vertikal seperti rumah susun dan apartemen. Menurut Fahri, saat ini di perkotaan sudah tidak ada tanah lagi untuk membangun rumah tapak, karenanya perlu dibangun hunian vertikal untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal.

Namun, Fahri mengatakan, Kementerian PKP tidak memiliki otoritas atas pertanahan untuk membangun hunian yang menjadi 'jantung' perkotaan. Untuk itu, ia menilai, perlu ada aturan yang mengatur dari sisi suplai, termasuk otoritas pertanahan untuk perumahan.

Terkait hal ini, politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini menilai pajak tinggi bagi rumah tapak juga dapat menimbulkan dampak sosial. Sebab menurutnya, harga rumah yang semakin mahal justru membuat masyarakat semakin sulit memiliki hunian pribadi.  “Karena banyak yang tidak bisa beli rumah, akhirnya timbul masalah-masalah psikologis keluarga,” tuturnya.

Alih-alih disinsentif, Irine mendorong pemerintah memberikan insentif untuk memperkuat ekosistem properti dan memperluas akses masyarakat terhadap hunian layak. “Kami minta Pemerintah tidak menyederhanakan masalah hunian hanya dengan mengandalkan instrumen fiskal yang membebani. Justru yang dibutuhkan adalah insentif, bukan disinsentif,” paparnya.

Pada kesempatan berbeda, Ketua Dewan Pembina DPP Real Estate Indonesia (REI), Totok Lusida mengatakan bahwa meski tujuannya baik, beberapa pertimbangan juga harus dipikirkan.

Menurut Totok, untuk mendorong pembeli rumah susun yang kebanyakan milenial, pengembang dan pemerintah harus memikirkan cara supaya konsumen mau menempati rumah susun alih alih menaikkan pajak rumah tapak. “Ya jadi bukan pajaknya dinaikkan supaya rusunnya laku. Rusunnya dipermudah supaya orang bisa menikmati.” kata Totok.

BERITA TERKAIT

Hakim Tolak Nota Keberatan Antonius Kosasih - Kasus Investasi Fiktif PT Taspen

NERACA Jakarta  - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menolak nota keberatan alias eksepsi terdakwa Antonius Nicholas Stephanus…

KPK Gandeng TVRI dan RRI - Perkuat Strategi Pencegahan Korupsi Lewat Penyiaran Publik

NERACA Jakarta - Membangun budaya antikorupsi bukan hanya tanggung jawab aparat penegak hukum, tetapi menjadi tugas bersama seluruh elemen bangsa.…

Kasus CPO - Kejagung Sita Uang Rp11 Triliun dari PT Wilmar Group

NERACA Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita uang sebesar Rp11 triliun dari terdakwa korporasi PT Wilmar Group terkait perkara dugaan…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Hakim Tolak Nota Keberatan Antonius Kosasih - Kasus Investasi Fiktif PT Taspen

NERACA Jakarta  - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menolak nota keberatan alias eksepsi terdakwa Antonius Nicholas Stephanus…

DPR Sebut JIka Pajak Rumah Tapak Naik Bisa Picu Krisis Hunian

NERACA Jakarta - Anggota Komisi V DPR RI, Irine Yusiana Roba Putri, menyampaikan penolakan tegas terhadap usulan Wakil Menteri Perumahan…

KPK Gandeng TVRI dan RRI - Perkuat Strategi Pencegahan Korupsi Lewat Penyiaran Publik

NERACA Jakarta - Membangun budaya antikorupsi bukan hanya tanggung jawab aparat penegak hukum, tetapi menjadi tugas bersama seluruh elemen bangsa.…