Oleh: Marwanto Harjowiryono
Pemerhati Kebijakan Fiskal
Belakangan ini, berbagai ruang publik, baik media sosial maupun bermacam forum diskusi, diramaikan dengan topik meningkatnya utang pemerintah Indonesia. Angka utang yang disebut-sebut telah menembus Rp9.000 triliun kerap dijadikan bukti bahwa pemerintah dinilai gagal dalam mengelola keuangan negara. Narasi seperti ini seolah menggiring opini publik bahwa kenaikan utang adalah indikator mutlak dari kebijakan fiskal yang buruk.
Untuk memahami dinamika utang secara lebih objektif, kita harus melihat dalam konteks sistem pengelolaan fiskal yang berlaku di Indonesia. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah menetapkan bahwa struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terdiri dari pendapatan negara, belanja negara, dan defisit anggaran. Bila ternyata terjadi defisit, gap itu akan ditutup dengan pembiayaan, baik dari sumber dalam maupun luar negeri. Dengan kata lain, selama negara menjalankan APBN yang defisit, utang akan selalu menjadi bagian dari instrumen kebijakan fiskal.
Lebih jauh, UU Keuangan Negara juga menetapkan batasan ketat untuk menjaga keberlanjutan fiskal: defisit anggaran maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), dan total utang tidak boleh melebihi 60% dari PDB. Dalam pemahaman ini, peningkatan nominal utang tidak serta merta menandakan kebijakan yang keliru. Tidak perlu khawatir, selama rasio utang terhadap PDB tetap terkendali. Mengingat PDB Indonesia meningkat setiap tahun, secara nominal utang pun pasti akan meningkat, walaupun secara rasio bisa saja tetap stabil. Lantas, mengapa tetap diributkan?
Meski dalam batas yang masih terkendali, tetap ada risiko yang patut diwaspadai. Pertumbuhan utang yang cepat, bila tidak dibarengi dengan pengelolaan yang cermat, dapat menimbulkan tekanan terhadap stabilitas ekonomi. Salah satu dampak paling nyata adalah peningkatan beban pembayaran bunga dan cicilan pokok (amortisasi), yang bisa menyedot porsi besar dari anggaran negara.
Selain itu, utang dalam valuta asing juga meningkatkan kerentanan terhadap gejolak nilai tukar. Jika rupiah melemah, beban pembayaran utang luar negeri akan meningkat. Hal ini bisa memperburuk sentimen investor, mengurangi kepercayaan terhadap fundamental ekonomi nasional, dan bahkan berpotensi memicu capital outflow.
Namun, penting juga untuk tidak hanya melihat utang dari sisi risiko. Bila dikelola secara cermat, utang bisa menjadi alat penting untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Utang memungkinkan negara untuk membiayai belanja produktif, seperti pembangunan infrastruktur dan investasi pada modal
Faktanya, pemerintah tidak serta merta berutang tanpa strategi yang jelas. Dalam konteks kebijakan fiskal, utang dilakukan untuk menutup kebutuhan belanja negara yang tidak dapat ditutupi oleh pendapatan. Kualitas penggunaan utang bisa dinilai dari seberapa besar kontribusi APBN dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menopang pertumbuhan ekonomi, serta menjaga stabilitas harga dan nilai tukar.
Dari sisi teknis, pengelolaan portofolio utang dilakukan secara prudent dengan mempertimbangkan berbagai risiko—termasuk risiko nilai tukar, risiko suku bunga, dan risiko pembiayaan ulang (refinancing). Pemerintah berusaha menyeimbangkan antara risiko dan biaya (risk-cost trade-off) dalam memilih instrumen dan sumber pembiayaan. Hasilnya, sejauh ini Indonesia masih mampu menjaga struktur utangnya tetap sehat, dengan mayoritas utang bersifat jangka panjang dan berbunga tetap, yang relatif lebih aman dalam menghadapi ketidakpastian global.
Diskursus soal utang adalah wajar dalam demokrasi. Namun, penting untuk membedakan antara persepsi dan fakta. Utang yang meningkat bukan berarti pengelolaan keuangan negara gagal, selama rasio utang terhadap PDB tetap terjaga dan pemanfaatannya mendukung pembangunan jangka panjang.
Yang perlu menjadi perhatian publik bukan sekadar angka nominal utang, melainkan bagaimana utang digunakan dan dikelola. Karena pada akhirnya, bukan jumlah utang yang membahayakan, tetapi kegagalan memanfaatkannya secara produktif dan bertanggung jawab.
Oleh: Budi Santoso Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia pada April 2025 mencatatkan surplus sebesar USD0,16 miliar. Surplus April 2025…
Oleh : Agus Yuliwan Pemerhati Ekonomi Syariah Sejak dilantik pada 20 Oktober 2024 hingga sekarang, masyarakat Indonesia menanti kepada pemerintah…
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 2025 setiap…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal Belakangan ini, berbagai ruang publik, baik media sosial maupun bermacam forum diskusi,…
Oleh: Budi Santoso Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia pada April 2025 mencatatkan surplus sebesar USD0,16 miliar. Surplus April 2025…
Oleh : Agus Yuliwan Pemerhati Ekonomi Syariah Sejak dilantik pada 20 Oktober 2024 hingga sekarang, masyarakat Indonesia menanti kepada pemerintah…