Pendidikan Gratis, Tapi Siapa yang Membayar? Apa jadinya jika negara menjanjikan makan gratis di seluruh rumah makan, tetapi tidak menyiapkan siapa yang akan membayar tagihannya?
Pertanyaan ini menjadi analogi yang tepat dalam menggambarkan tantangan fiskal yang timbul akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan pemerintah menjamin pendidikan dasar gratis tidak hanya di sekolah negeri, tetapi juga swasta.
Putusan ini memang lahir dari semangat luhur konstitusi: mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, ketika visi luhur tidak dibarengi dengan mekanisme pelaksanaan yang realistis, kita berisiko memanen kegagalan sistemik.
Putusan MK ini secara moral dan konstitusional sukar dibantah. Pendidikan adalah hak dasar warga negara. Namun dalam ranah kebijakan publik, setiap hak yang dijamin oleh negara pasti menuntut alokasi sumber daya—dan itu berarti uang rakyat.
Dalam konteks ini, pertanyaannya bukan pada nilai moral dari keputusan tersebut, tetapi pada kemampuan keuangan negara untuk mengimplementasikannya secara adil dan berkelanjutan.
Mari kita telisik kondisi fiskal saat ini. Hingga April 2025, pendapatan negara baru mencapai Rp810,5 triliun atau sekitar 27% dari target tahunan. Sementara itu, belanja negara telah mencapai Rp620,3 triliun, menciptakan defisit lebih dari Rp100 triliun dalam empat bulan pertama saja.
Anggaran pendidikan memang tampak besar—sekitar Rp724,3 triliun atau 20% dari APBN. Namun kenyataannya, dari jumlah itu, realisasi anggaran hingga Februari baru menyentuh Rp76,4 triliun. Dengan kata lain, belanja pendidikan pun belum sepadan dengan ambisi kebijakan.
Putusan MK memperluas cakupan penerima manfaat dari pendidikan gratis. Sekolah swasta, yang selama ini hidup dari iuran masyarakat dan operasional internal, kini harus ikut dibebaskan dari biaya pendidikan.
Tentu saja ini menuntut kompensasi dari negara. Hitungan awal menunjukkan bahwa setidaknya dibutuhkan tambahan Rp1,3 triliun untuk menanggung biaya pendidikan siswa SD dan SMP di sekolah swasta. Dan itu belum mencakup operasional, peningkatan kualitas, insentif guru, dan rehabilitasi infrastruktur.
Tanpa desain anggaran baru yang mendalam, beban ini tidak akan tertangani. Negara ini bukan hanya sedang menyusun ulang arah pendidikannya, tetapi juga sedang membagi kue fiskal untuk banyak program prioritas lain.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintahan baru menyedot anggaran hingga Rp171 triliun. Pemeriksaan kesehatan gratis menghabiskan Rp3,4 triliun. Belum lagi enam paket stimulus ekonomi lainnya yang mencakup diskon listrik, subsidi upah, dan bantuan sosial. Totalnya, kita berbicara tentang ratusan triliun rupiah dalam satu tahun fiskal.
Program makan gratis, pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan stimulus ekonomi ibarat air yang masuk cepat ke dalam ember. Namun kebocoran berupa belanja tidak efisien, pemborosan, dan korupsi membuat ember itu tak kunjung penuh. Dalam situasi ini, putusan MK adalah tambahan air ke dalam ember.
Jika kita tidak menambal kebocoran atau memperbesar kapasitas ember, maka air akan terbuang dan masyarakat hanya akan kebasahan janji, bukan kenyataan pelayanan publik yang meningkat.
Namun kita percaya keadilan sosial harus dibarengi dengan keberlanjutan fiskal. Jika tidak, kita akan jatuh ke dalam perangkap populisme fiskal: menjanjikan segalanya pada semua orang, tapi akhirnya tidak mampu memberi apa pun secara memadai.
Jika ingin pendidikan gratis yang merata dan berkualitas, negara perlu strategi pembiayaan alternatif. Misalnya, membangun skema pendanaan berbasis kemitraan publik-swasta, seperti insentif pajak bagi perusahaan yang mendukung pendidikan di daerah 3T. Atau memanfaatkan dana CSR secara lebih strategis. Negara juga bisa menerapkan sistem subsidi berbasis kebutuhan, bukan sekadar membebaskan biaya secara seragam.
Menurut Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta, putusan MK harus dibaca sebagai panggilan untuk menghidupkan kembali demokrasi dalam pengelolaan anggaran. Kita tidak bisa lagi membiarkan proses penyusunan APBN hanya menjadi arena teknokrasi tertutup.
Rakyat berhak tahu ke mana uang mereka digunakan, dan bagaimana keputusan fiskal diambil. Ketika pengeluaran terus bertambah, maka transparansi dan partisipasi publik menjadi benteng pertahanan terakhir dari akuntabilitas.
Visi demokrasi dan pluralisme menuntut keberanian untuk memilih: mana kebijakan yang memang memihak yang termarginalkan dan mana yang sekadar populis. Pendidikan gratis seharusnya menjadi instrumen untuk mendorong anak-anak dari keluarga miskin keluar dari lingkaran kemiskinan struktural.
Tetapi ketika desainnya tak adil, justru kelompok kaya yang lebih diuntungkan karena anak-anak mereka yang bersekolah di swasta mendapat subsidi negara. Putusan MK adalah momentum koreksi, tapi bukan akhir dari diskusi. Negara harus menanggapi putusan ini dengan akal sehat fiskal, bukan sekadar kepatuhan formal.
Pemerintah memperluas cakupan layanan kesehatan melalui Apotek Desa sebagai strategi nasional mewujudkan sistem kesehatan lebih inklusif. Program ini representasi…
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan oleh pemerintah pada 6 Januari 2025 sebagai langkah strategis dalam meningkatkan…
Masifnya perputaran uang yang berasal dari judi daring (online) mencapai ratusan triliun rupiah, bahkan hampir Rp 1.000 triliun,…
Pemerintah memperluas cakupan layanan kesehatan melalui Apotek Desa sebagai strategi nasional mewujudkan sistem kesehatan lebih inklusif. Program ini representasi…
Pendidikan Gratis, Tapi Siapa yang Membayar? Apa jadinya jika negara menjanjikan makan gratis di seluruh rumah makan, tetapi…
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan oleh pemerintah pada 6 Januari 2025 sebagai langkah strategis dalam meningkatkan…