Jakarta-Meski paylater bisa menjadi sinyal positif dari sisi inovasi keuangan dan inklusi, penggunaannya yang meningkat juga bisa menjadi sinyal peringatan akan meningkatnya risiko kredit. Apalagi jika tren ini didominasi oleh kelompok masyarakat dengan daya beli yang melemah, maka bukan tidak mungkin risiko gagal bayar dari layanan ini akan meningkat di waktu mendatang.
NERACA
“Kita perlu mencermati juga bahwa kondisinya kalau tadi digunakan oleh konsumen masyarakat kelas menengah yang dia baru kena PHK yang memang pendapatannya langsung jeblok dan tidak ada pendapatan sama sekali, sehingga kita perlu worry karena kemungkinan pun juga berarti ada kecenderungan nanti resiko kredit dari transaksi pay later tersebut pun juga akan bisa meningkat lagi,” ujar Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede di Jakarta, Rabu (14/5).
Baginya penggunaan layanan paylater di Indonesia mencerminkan adanya inovasi dalam produk keuangan. Ini kemudian memberikan alternatif pembiayaan bagi masyarakat, terutama di luar jalur kredit konvensional perbankan.
Meski demikian, di sisi lain, lonjakan ini juga mengindikasikan potensi persoalan yang lebih dalam terkait daya beli dan kestabilan finansial masyarakat, khususnya kelas menengah.
“Saya pikir memang kalau kita bicara inovasi produk keuangan paylater ini kan juga menjadi salah satu inovasi produk keuangan lainnya selain kredit ataupun kredit konsumsi lainnya dan saya pikir paylater ini kan memberikan kemudahan,” ujarnya seperti dikutip Liputan6.com.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, per Maret 2025 total utang masyarakat Indonesia lewat layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau yang lebih akrab disebut paylater di sektor perbankan menyentuh angka Rp 22,78 triliun.
Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae, porsi kredit Buy Now Pay Later (BNPL) perbankan tercatat 0,29 persen, namun terus mencatatkan pertumbuhan yang tinggi secara tahunan. "Per Maret 2025, baki debet kredit BNPL sebagaimana dilaporkan dalam SLIK, tumbuh 32,18 persen yoy menjadi Rp22,78 triliun," ujar Dian Rae dalam RDKB OJK, Selasa (13/5).
Yosua juga menyoroti dalam beberapa tahun terakhir, terjadi penyusutan kelas menengah di Indonesia yang menjadi indikator menurunnya pendapatan riil. Situasi ini menyebabkan sebagian masyarakat terpaksa menggunakan tabungan untuk kebutuhan sehari-hari, suatu kondisi yang belakangan dikenal sebagai “makan tabungan.”
“Karena kalau kita bicara tren tadi yang saya sudah sampaikan bahwa tren kelas menengah masyarakat kita yang menyusut dalam kurang mungkin 5 tahun terakhir ini ini memberikan implikasi bahwa terdapat tendensi bahwa pendapatan riil masyarakat mengalami penurunan, sehingga mau gak mau masyarakat menggunakan tabungannya untuk menghidupi kehidupannya sehari-hari sehingga sudah kita kenal sebagai mantab “makan tabungan”,” jelasnya.
Konsumsi Rumah Tangga
Sementara itu, konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional tercatat mengalami pelambatan pada kuartal pertama tahun 2025, yakni konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,89 persen.
Fenomena ini menjadi sorotan karena biasanya periode awal tahun yang bertepatan dengan momentum Ramadan dan Lebaran justru mendorong peningkatan belanja masyarakat. Namun, kali ini tren yang terjadi justru sebaliknya.
Merespon hal tersebut, Head of Macroeconomics and Market Research Permata Bank Faisal Rachman, mengatakan pelemahan konsumsi ini tidak datang secara tiba-tiba. Masalahnya sudah mengemuka sejak tahun lalu, terutama dari kelompok masyarakat kelas menengah,
"Sebenarnya kalau kita ngomong konsumsi rumah tangga memang itu kan sebenarnya ada masalah yang sudah ada dari tahun lalu ya. Jadi memang ada permasalahan pada level kelas menengah," ujar Faisal di Jakarta, Rabu (14/5).
Kelompok ini dianggap sebagai segmen yang cukup terdampak oleh kondisi ekonomi, namun kurang tersentuh oleh kebijakan pemerintah. Fokus kebijakan fiskal selama ini lebih diarahkan untuk melindungi kelompok masyarakat berpendapatan rendah. "Yang kita tahu memang kalau misalnya kebijakan pemerintah itu kan memang lebih mengarahkan yang ke kelompok miskin," ujarnya.
Sementara itu, menurut Faisal, tidak banyak stimulus atau dukungan khusus yang menyasar langsung ke kelas menengah, sehingga daya beli mereka belum sepenuhnya pulih. "Jadi, sebenarnya memang kelompok kelas menengah itu memang sedikit terpapar oleh kebijakan pemerintah. Atau kita bisa bilang nggak ada kebijakan pemerintah yang spesifik untuk ngebantu kebijakan kelas menengah,"
Selain dari sisi kebijakan, faktor global juga turut memberikan tekanan. Sejak pandemi Covid-19 melanda, kondisi ekonomi belum benar-benar kembali stabil.
Setelah menghadapi pandemi, dunia dilanda ketegangan geopolitik, kenaikan suku bunga global yang bertahan lama, serta memanasnya kembali ketegangan perdagangan internasional. Rentetan gangguan ini menyebabkan aktivitas ekonomi, baik di tingkat global maupun domestik, belum sepenuhnya pulih.
"Jadi habis pandemi, habis itu ada ketegang geopolitik, lalu juga ada higher for longer, lalu sekarang ada trade war. Jadi sebenarnya memang ekonomi global dan domestik itu memang belum bisa dikatakan fully recovery. Jadi memang tentunya itu pasti akan menghambat kegiatan investasi juga," ujarnya.
Kondisi ini pada akhirnya berimbas pada keputusan investasi, terutama dari pelaku usaha. Ketidakpastian global mendorong perusahaan untuk menahan ekspansi, yang kemudian berdampak pada terbatasnya penyerapan tenaga kerja dan berkurangnya pendapatan masyarakat.
"Jadi, memang pasti akan berdampak juga pada teragak kerja. Makanya memang secara overall itu memang konsumsi rumah tangga itu memang meskipun ada Ramadhan dan Lebaran itu di kuartal 1 masih mengalami pelambatan," ujarnya.
Selama ini perhatian pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat banyak tertuju pada kelompok miskin melalui berbagai program bantuan sosial. Namun, di tengah tantangan ekonomi yang dihadapi, muncul pertanyaan apakah kelas menengah juga layak mendapatkan perhatian dalam bentuk insentif.
Faisal menjelaskan, karakteristik konsumsi dan kontribusi ekonomi yang berbeda, kebijakan untuk kelas menengah memerlukan pendekatan yang lebih struktural dan berorientasi jangka panjang."Sebenarnya memang ada dua sisi. Apakah memang dibantu secara langsung untuk konsumsinya atau memang penyediaan untuk kesempatan lapangan pekerjaan lebih baik lagi," ujarnya.
Menruutnya, jika melihat perekonomian nasional saat ini masih dihadapkan pada kondisi inflasi yang cenderung bersumber dari sisi suplai. Meskipun permintaan cenderung rendah, tekanan dari sisi pasokan tetap tinggi."Karena memang kita nggak bisa pungkiri, inflasi itu sebenarnya kan yang dari sisi demand-nya rendah, tetapi yang dari sisi supply-nya kan meningkat ya," ujarnya. bari/mohar/fba
Jakarta-Akademisi dan Manajer Riset CITA tidak menyarankan penurunan ambang batas PTKP untuk memperluas basis pajak seperti yang disarankan Organization…
NERACA Bandung - Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengungkapkan, koperasi desa merah putih akan diberi modal awal dari pemerintah…
NERACA Jakarta – Pemerintah menegaskan komitmennya dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan memastikan bahwa makanan yang disediakan aman,…
Jakarta-Akademisi dan Manajer Riset CITA tidak menyarankan penurunan ambang batas PTKP untuk memperluas basis pajak seperti yang disarankan Organization…
NERACA Bandung - Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengungkapkan, koperasi desa merah putih akan diberi modal awal dari pemerintah…
NERACA Jakarta – Pemerintah menegaskan komitmennya dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan memastikan bahwa makanan yang disediakan aman,…