Kewajiban Negara dalam Mengelola Zakat

Oleh : Aay Muhammad Furkon, MA., ME.Sy. (Dosen STAI PERSIS Jakarta, Ketua Bidang Maliyah PERSIS, Alumni IIU Malaysia)

Zakat merupakan instrumen finansial Islam yang memiliki dimensi ibadah dan sosial ekonomi. Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia dan tetangganya, Malaysia memiliki pendekatan berbeda dalam pengelolaan zakat di tingkat negara. Artikel ini mengeksplorasi sejauh mana kewajiban negara dalam mengelola zakat di kedua negara (Indonesia dan Malaysia), menganalisis kerangka hukum, kelembagaan, serta dampak sosial-ekonomi dari sistem yang diterapkan.
Secara historis, zakat merupakan salah satu instrumen fiskal yang dikelola oleh negara sejak masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin. Praktek ini memberikan preseden bahwa negara memiliki legitimasi dalam pengelolaan zakat. Namun dalam konteks negara modern, khususnya yang bukan negara Islam, tingkat keterlibatan negara menjadi isu yang kompleks.
Menurut Yusuf al Qaradhawi, dalam magnum ofusnya, Hukum Zakat menyatakan bahwa pengelolaan zakat oleh negara memiliki beberapa keunggulan, antara lain: menjamin kepastian dan disiplin pembayaran, menghindari perasaan inferior mustahik (penerima zakat) jika menerima langsung dari muzaki (pembayar zakat), mengoptimalkan efisiensi pengelolaan, dan mencegah konsentrasi distribusi pada satu wilayah.
Indonesia mengadopsi pendekatan "semi-mandatory" dalam pengelolaan zakat. UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat menjadi dasar hukum utama yang memberikan wewenang kepada negara untuk mengatur pengelolaan zakat, namun tidak memberikan kewenangan untuk memaksa pembayaran zakat. Hal ini sejalan dengan sifat negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, bukan negara Islam.
Pasal 1 ayat (7) UU tersebut mendefinisikan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengelolaan zakat secara nasional. Pasal 5 ayat (1) menegaskan bahwa untuk melaksanakan pengelolaan zakat, pemerintah membentuk BAZNAS yang berkedudukan di ibu kota negara.
Kerangka hukum ini kemudian diperkuat dengan PP No. 14 Tahun 2014, yang mengatur operasionalisasi UU Pengelolaan Zakat, termasuk tata cara pengangkatan dan pemberhentian pimpinan BAZNAS, organisasi dan tata kerja BAZNAS, serta pelaporan dan pertanggungjawaban BAZNAS.
BAZNAS beroperasi dari tingkat nasional hingga kabupaten/kota dengan hierarki yang terstruktur. Di samping BAZNAS, terdapat Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh masyarakat dan diakui oleh pemerintah. Dualisme ini mencerminkan pendekatan kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan zakat.
Menurut penelitian Huda dkk, dengan judul, Problems, solutions and strategies priority for zakat management in Indonesia: Analytical hierarchy process approach, struktur kelembagaan zakat di Indonesia relatif terdesentralisasi dengan 1 BAZNAS pusat, 34 BAZNAS provinsi, 514 BAZNAS kabupaten/kota, dan lebih dari 200 LAZ terakreditasi.
Aspek penting lainnya adalah integrasi parsial dengan sistem perpajakan. Pasal 22 UU PPh menyatakan bahwa zakat atau sumbangan keagamaan yang bersifat wajib yang dibayarkan kepada lembaga resmi dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Insentif ini merupakan bentuk pengakuan negara terhadap kewajiban ganda (zakat dan pajak) yang dipikul oleh wajib pajak muslim.
Malaysia mengadopsi pendekatan yang lebih tegas dalam pengelolaan zakat. Sistem federal Malaysia memberikan kewenangan pengelolaan zakat kepada negara bagian (state) melalui Majelis Agama Islam Negeri. Undang-undang zakat diatur pada tingkat negara bagian, bukan federal, yang mencerminkan posisi Islam sebagai agama resmi negara dalam konstitusi Malaysia.
Di sebagian besar negara bagian, pembayaran zakat bersifat mandatory dengan sanksi bagi yang tidak membayar. Misalnya, di Selangor, Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Selangor) 2003 memberikan kewenangan kepada Lembaga Zakat Selangor (LZS) untuk memungut zakat dan mengenakan denda bagi yang mangkir dari kewajiban zakat.
Berbeda dengan Indonesia, Malaysia tidak memiliki lembaga zakat nasional yang berfungsi sebagai koordinator. Setiap negara bagian mengelola zakatnya melalui model yang bervariasi:
1. Model korporatisasi penuh, diterapkan di Selangor, Pulau Pinang, dan Sarawak. Lembaga zakat dioperasikan sebagai korporasi di bawah Majelis Agama Islam Negeri.
2. Model semi-korporatisasi, diterapkan di Negeri Sembilan dan Melaka. Pengumpulan zakat dikelola oleh korporasi, namun distribusi tetap di bawah Majelis Agama Islam.
3. Model departemen di bawah Majelis Agama Islam, diterapkan di negara bagian lainnya, di mana pengelolaan zakat menjadi salah satu fungsi dari Majelis Agama Islam.
Integrasi dengan sistem perpajakan di Malaysia lebih maju dibandingkan Indonesia. Di beberapa negara bagian seperti Selangor dan Wilayah Persekutuan, pembayaran zakat terintegrasi dengan sistem perpajakan melalui Lembaga Hasil Dalam Negeri (LHDN). Wajib pajak muslim dapat membayar zakat dan pajak melalui satu platform, dan zakat yang dibayarkan akan mengurangi jumlah pajak yang harus dibayarkan (bukan hanya penghasilan kena pajak).
Efektivitas penghimpunan zakat dapat dilihat dari rasio realisasi terhadap potensi. Di Indonesia, menurut BAZNAS (2024), penghimpunan zakat nasional pada tahun 2023 mencapai Rp32,32 triliun dari potensi yang diperkirakan mencapai Rp327,6 triliun. Sementara di Malaysia, berdasarkan laporan Jabatan Wakaf, Zakat dan Haji (JAWHAR) (2023), penghimpunan zakat nasional mencapai RM3,5 miliar (sekitar Rp12 triliun) atau sekitar 70% dari potensinya.
Kesenjangan efektivitas ini dapat dijelaskan oleh beberapa faktor:
1. Sifat kewajiban hukum sifat mandatory di Malaysia meningkatkan kepatuhan pembayaran zakat.
2. Integrasi dengan sistem perpajakan di Malaysia, integrasi zakat-pajak yang lebih komprehensif memudahkan pembayaran dan meningkatkan insentif.
3. Kesadaran dan kepercayaan publik, Survei yang dilakukan oleh Kasri dengan judul Determinants of Muslim's willingness to pay for supporting zakat institutions: Case study in Indonesia, menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga zakat di Malaysia mencapai 78%, sedangkan di Indonesia hanya 57%.
Terkait dengan distribusi zakat di kedua negara menunjukkan perbedaan pendekatan:
1. Pola distribusi di Indonesia, berdasarkan laporan BAZNAS (2023), distribusi zakat lebih berorientasi pada program konsumtif (55%) dibandingkan produktif (45%). Sementara di Malaysia, distribusi untuk program produktif mencapai 65% (JAWHAR, 2023).
2. Dampak pengentasan kemiskinan, studi yang dilakukan oleh Beik dan Pratama dengan judul Zakat impact on poverty and welfare of mustahik: A CIBEST model approach,   menunjukkan bahwa program zakat di Indonesia mampu mengurangi tingkat kemiskinan mustahik sebesar 10,79%. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Zakat as an alternate anti-poverty instrument in Malaysia oleh Ibrahim dan Shaharuddin di Malaysia, menunjukkan pengurangan kemiskinan hingga 27% pada kelompok penerima zakat.
3. Cakupan Penerima Manfaat di Indonesia, program zakat menjangkau sekitar 9 juta mustahik atau 14% dari total penduduk miskin (BAZNAS, 2022). Di Malaysia, cakupan mencapai 65% dari penduduk miskin di negara tersebut (JAWHAR, 2022).

Pembelajaran dari Kedua Model
Jika ditelaah secara seksama, maka di masing-masing negara (Indonesia dan Malaysia) mempunyai kelebihan masing-masing. Model Indonesia, mempunyai kelebihan yaitu  fleksibilitas kelembagaan. Kolaborasi antara BAZNAS dengan LAZ memberikan fleksibilitas dan menjangkau kelompok masyarakat yang berbeda. Selain itu, kompatibilitas dengan Konteks Negara Pancasila Model semi-mandatory sesuai dengan konteks Indonesia sebagai negara Pancasila yang mengakui keberagaman agama. Terakhir, pertumbuhan akar rumput, pertumbuhan berbagai LAZ di daerah-daerah menunjukkan partisipasi aktif masyarakat sipil dalam pengelolaan zakat.
Sedangkan kelebihan model Malaysia, yaitu adanya efektivitas penghimpunan, pendekatan yang lebih tegas meningkatkan efektivitas penghimpunan zakat. Selain itu di Malaysia, adanya sistem yang terintegrasi. Sistem perpajakan dan perzakatan terintegrasi menjadi satu, sehingga menyederhanakan proses dan meningkatkan kepatuhan. Terakhir, dengan model korporatisasi meningkatkan profesionalitas pengelolaan zakat.
Berdasarkan perbandingan antara Indonesia dengan Malaysia, beberapa rekomendasi untuk penguatan peran negara dalam pengelolaan zakat di Indonesia adalah sebagai berikut; pertama penguatan kewenangan BAZNAS, memperkuat BAZNAS sebagai koordinator nasional dengan meningkatkan kapasitas pengawasan dan standarisasi. Kedua, pengembangan integrasi Zakat-Pajak Mengembangkan sistem yang mengintegrasikan pembayaran zakat dan pajak, termasuk mempertimbangkan zakat sebagai pengurang pajak (bukan hanya pengurang penghasilan kena pajak). Ketiga, profesionalisasi pengelolaan, dengan mengadopsi model korporatisasi parsial untuk meningkatkan efisiensi dan profesionalitas pengelolaan zakat. Keempat, standardisasi laporan dan transparansi, mengembangkan standar pelaporan yang komprehensif dan transparan untuk meningkatkan kepercayaan publik. Terakhir, penguatan database mustahik-muzaki, mengembangkan database terintegrasi mustahik dan muzaki yang terhubung dengan program perlindungan sosial pemerintah.
Perbandingan sistem pengelolaan zakat antara Indonesia dan Malaysia menunjukkan bahwa keterlibatan negara dalam pengelolaan zakat dapat bervariasi sesuai dengan konteks konstitusional, sosial, dan budaya masing-masing negara. Indonesia dengan model "semi-mandatory" dan Malaysia dengan model "mandatory" masing-masing memiliki kelebihan dan tantangan tersendiri.
Kewajiban negara dalam pengelolaan zakat pada dasarnya adalah memastikan tujuan sosial-ekonomi zakat tercapai secara optimal. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan, dari yang bersifat regulatif hingga yang lebih intervensionis. Yang terpenting adalah bagaimana negara dapat memfasilitasi penghimpunan dan distribusi zakat secara efektif dan tepat sasaran.
Pembelajaran dari pengalaman Malaysia dapat menjadi masukan berharga bagi Indonesia untuk meningkatkan efektivitas sistem pengelolaan zakat nasional, dengan tetap mempertimbangkan konteks lokal dan kerangka konstitusional yang berlaku. Penguatan integrasi sistem, profesionalisasi pengelolaan, dan peningkatan transparansi merupakan area utama yang perlu dikembangkan untuk mengoptimalkan peran negara dalam pengelolaan zakat di Indonesia.

BERITA TERKAIT

BNI Sabet 3 Penghargaan Triple A Awards 2025 berkat Inovasi BNIdirect dan Peran di Program Pemerintah

Neraca, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI menyabet tiga penghargaan bergengsi dari ajang Triple A Treasurise Awards 2025…

Dari FCA ke Free Float - Kebijakan BEI Dinilai Tak Sentuh Akar Masalah

Neraca, Bursa Efek Indonesia (BEI) menghadapi kritik atas sejumlah kebijakan yang dinilai kurang transparan dan melemahkan kredibilitas bursa, khususnya di…

HARGA GABAH KERING PANEN

Petani menjemur gabah kering hasil panen di Lumajang, Jawa Timur, Kamis (22/5/2025). Pemerintah berkomitmen untuk menjaga harga gabah kering panen…

BERITA LAINNYA DI Berita Foto

BNI Sabet 3 Penghargaan Triple A Awards 2025 berkat Inovasi BNIdirect dan Peran di Program Pemerintah

Neraca, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI menyabet tiga penghargaan bergengsi dari ajang Triple A Treasurise Awards 2025…

Dari FCA ke Free Float - Kebijakan BEI Dinilai Tak Sentuh Akar Masalah

Neraca, Bursa Efek Indonesia (BEI) menghadapi kritik atas sejumlah kebijakan yang dinilai kurang transparan dan melemahkan kredibilitas bursa, khususnya di…

HARGA GABAH KERING PANEN

Petani menjemur gabah kering hasil panen di Lumajang, Jawa Timur, Kamis (22/5/2025). Pemerintah berkomitmen untuk menjaga harga gabah kering panen…