Oleh: Dr.Aswin Rivai, MM., Dosen FEB-UPN Veteran Jakarta
Dalam dunia yang semakin terhubung saat ini, investasi yang lebih besar dalam riset dan pengembangan (R&D) sering dianggap sebagai cara yang efektif untuk mendorong inovasi, meningkatkan produktivitas, dan menciptakan lapangan kerja serta pertumbuhan ekonomi. Namun, meskipun banyak negara, termasuk Indonesia, meningkatkan anggaran R&D mereka selama beberapa dekade terakhir, hasilnya belum sepenuhnya sesuai harapan. Inovasi, peningkatan produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi sering kali tidak berkembang secepat yang diharapkan. Lalu, apa yang salah?
Data nyata menunjukkan bahwa mendorong inovasi tidak hanya bisa dicapai dengan menambah anggaran, tetapi juga dengan cara yang lebih strategis. Di Indonesia, misalnya, perusahaan besar sering kali mendominasi pasar, menyulitkan bisnis kecil dan startup untuk berkembang. Di berbagai sektor, pemain besar lebih memprioritaskan langkah strategis untuk mempertahankan posisi mereka daripada mencari inovasi yang sesungguhnya, sehingga potensi pertumbuhan ekonomi sering terabaikan.
Temuan ini menunjukkan bahwa sudah saatnya untuk merevisi dan lebih memfokuskan pendekatan terhadap inovasi dan pertumbuhan ekonomi. Pembuat kebijakan perlu mendorong tidak hanya R&D tetapi juga alokasi sumber daya yang lebih efektif. Melihat bagaimana inovasi di Indonesia berubah dalam beberapa dekade terakhir dapat memberikan wawasan tentang bagaimana hal ini dapat dilakukan.
Pada tahun 2020, total investasi R&D di Indonesia sekitar 0.28% dari PDB, jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara maju. Bahkan masih kalah jauh dengan negara jiran Malaysia yang investasi R&D nya 0.95%, China 2.41%, dan Korea Selatan 4.80%. Angka tahun 2020 ini mengalami peningkatan menjadi 0.65% pada tahun 2023 menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Pengeluaran R&D oleh sektor swasta di Indonesia juga meningkat, namun masih terbatas dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Korea Selatan. Pertumbuhan jumlah penagjuan pendaftaran paten di Indonesia dari tahun 2000 sampai tahun 2023 hanya 5.3% pertahunnya, sementara Thailand, India, dan Malaysia paten yang terdaftar dan disetujui berturut-turut sebesar 7.9%, 11.9% dan 8.4%
Berdasarkan model ekonomi konvensional, peningkatan dalam pengeluaran R&D seharusnya dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi, bukan justru memperlambatnya seperti yang terjadi. Pertumbuhan produktivitas antara tahun 2000 dan 2015 di Indonesia rata-rata hanya 1.2%, dan meskipun ada sedikit peningkatan pada awal 2020-an, pertumbuhan tahunan umumnya menurun.
Untuk memahami bagaimana analisis konvensional sering kali tidak sesuai dengan kenyataan, kita perlu melihat data mikro yang lebih spesifik mengenai bisnis, penemu, dan inovasi di Indonesia. Penelitian terbaru menunjukkan adanya pergeseran signifikan dalam lanskap inovasi di Indonesia. Selama dua dekade terakhir, proporsi populasi yang terlibat dalam paten hampir dua kali lipat, namun pertumbuhan produktivitas turun drastis. Penjelasan mungkin terletak pada cara alokasi pengeluaran R&D. Dalam penelitian sebelumnya, penulis menemukan bahwa perusahaan kecil lebih inovatif relatif terhadap ukuran mereka, menunjukkan bahwa mereka menggunakan sumber daya R&D dengan lebih efisien. Ketika perusahaan tumbuh dan mendominasi pasar, mereka sering kali beralih dari inovasi ke perlindungan posisi pasar mereka.
Dalam studi terbaru, peneliti menunjukkan bahwa perusahaan besar cenderung berinovasi lebih sedikit dan terlibat dalam kegiatan yang membatasi kompetisi. Salah satu kegiatan tersebut adalah merekrut mantan pejabat negara/politisi lokal sebagai komisaris. Saat perusahaan naik peringkat di antara pemain terbesar di industri mereka, mereka merekrut lebih banyak mantan pejabat negara/politisi, sementara produksi paten mereka menurun. Ini menunjukkan apa yang disebut sebagai paradoks kepemimpinan, di mana perusahaan terkemuka lebih fokus pada mempertahankan dominasi daripada mendorong inovasi.
Pergeseran fokus ini di antara bisnis besar mungkin menjadi faktor penting dalam perlambatan produktivitas di Indonesia. Saat pemain dominan lebih memprioritaskan langkah strategis ketimbang inovasi sesungguhnya, ekonomi secara keseluruhan hampir pasti kehilangan peluang pertumbuhan potensial. Memahami dinamika ini penting bagi pembuat kebijakan yang ingin mendorong inovasi sejati dan pertumbuhan ekonomi.
Selama dua dekade terakhir, terjadi pergeseran signifikan dalam alokasi sumber daya inovatif ke perusahaan besar dan mapan di Indonesia. Pada awal abad ini (tahun 2000), sekitar 40% innovator di Indonesia bekerja untuk perusahaan besar yang lebih dari 20 tahun berdiri dan mempekerjakan lebih dari 500 pekerja. Pada tahun 2023, angka ini melonjak menjadi 55%, menandakan pergeseran besar dalam konsentrasi bakat inovatif negara. Pada pandangan pertama, pergeseran ini mungkin tidak tampak masalah. Perusahaan besar mungkin memiliki sumber daya untuk mendukung R&D yang luas. Namun, penelitian menunjukkan tren yang mengkhawatirkan yaitu inovator yang pindah ke perusahaan besar menjadi kurang inovatif dibandingkan dengan penemu yang pindah ke perusahaan yang lebih muda.
Rekrutmen yang Hambat Inovasi
Salah satu praktik yang diidentifikasi dalam pengamatan penulis adalah rekrutmen yang menghambat inovasi. Ini terjadi ketika perusahaan besar merekrut karyawan kunci dari pesaing yang lebih muda, sering kali dengan menawarkan gaji lebih tinggi. Namun, alih-alih menggunakan karyawan baru ini untuk mendorong inovasi, perusahaan besar mungkin menempatkan mereka dalam peran yang tidak sepenuhnya memanfaatkan keterampilan mereka. Akibatnya, individu-individu ini menjadi kurang inovatif, dan kapasitas inovatif ekonomi secara keseluruhan merosot.
Setelah tahun 2000, ada peningkatan yang signifikan dalam premi gaji yang ditawarkan oleh perusahaan besar dibandingkan dengan gaji yang dibayar oleh bisnis yang lebih muda. Perbedaan gaji ini melebar hingga 20%, mendorong banyak pekerja talenta/inovator untuk beralih pekerjaan dan bergabung dengan perusahaan besar. Namun, inovativitas para talenta /inovator ini menurun sebesar 6% dibandingkan dengan rekan mereka yang bergabung dengan pemberi kerja yang lebih muda.
Salah satu interpretasi dari praktik ini adalah bahwa ini berfungsi sebagai langkah strategis oleh perusahaan besar untuk menetralkan ancaman kompetitif potensial. Dengan merekrut bakat top dari pesaing, perusahaan ini tidak hanya melemahkan kompetitornya tetapi juga mencegah individu-individu tersebut berkontribusi pada inovasi yang mungkin disruptif di tempat lain. Strategi ini mungkin menguntungkan perusahaan yang merekrut dalam jangka pendek, tetapi menimbulkan risiko jangka panjang terhadap inovasi dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Insentif yang Salah Arah
Perdebatan tentang peran kebijakan industri di Indonesia semakin intensif, dengan penekanan pada strategi industri yang kuat. Melihat pengalaman masa lalu dapat memberikan wawasan berharga. Penelitian menunjukkan bahwa sejak awal 2020, ada peningkatan signifikan dalam konsentrasi pasar dan penurunan dinamika bisnis di Indonesia. Periode ini sejalan dengan pengenalan insentif pajak untuk R&D oleh pemerintah Indonesia melalui PP No.45 tahun 2019 yang memungkinkan perusahaan yang melakukan kegiatan R&D dapat mengklaim pengurangan pajak hingga 300% dari biaya R&D yang dikeluarkan.
Pengurangan ini mencakup biaya yang dikeluarkan untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di dalam negeri. Tujuannya dirancang untuk mendorong perusahaan berinvestasi dalam riset dan pengembangan. Namun, pengamatan penulis menunjukkan bahwa perusahaan besar cenderung lebih banyak memanfaatkan insentif ini dibandingkan dengan perusahaan kecil. Kebijakan ini mungkin tanpa disadari memihak perusahaan besar, mendorong mereka untuk mendominasi pengeluaran R&D.
Ketika kita menggabungkan observasi ini dengan praktik rekrutmen yang menghambat inovasi dari perusahaan besar, muncul pola yang jelas. Kebijakan tampaknya berhubungan dengan praktik ini. Pengamatan penulis memberikan bukti langsung bahwa perusahaan yang secara aktif mengklaim insentif pajak R&D cenderung terlibat dalam praktik semacam ini.
Perusahaan-perusahaan ini sering menawarkan gaji yang lebih tinggi kepada inovator, dan inovator ini menjadi kurang inovatif setelah bergabung. Ini menunjukkan bahwa subsidi inovasi, meskipun dimaksudkan untuk mendorong riset dan pengembangan, mungkin secara tidak sengaja mengurangi inovasi keseluruhan dengan menciptakan insentif yang berbeda bagi pemimpin pasar dibandingkan dengan pesaing yang lebih kecil dan lebih muda.
Bukti menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah meningkatkan pengeluaran R&D, konsentrasi sumber daya di antara perusahaan besar telah menyebabkan hasil yang menurun dalam hal pertumbuhan produktivitas. Hasil ini menantang asumsi bahwa hanya dengan memperluas pengeluaran R&D akan secara otomatis menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, ini menyoroti perlunya pendekatan yang lebih cermat terhadap kebijakan industri yang tidak hanya memberikan insentif untuk R&D tetapi juga mendorong alokasi sumber daya yang efektif.
Untuk mendorong ekonomi yang lebih dinamis dan inovatif, Indonesia perlu merancang kebijakan yang mendukung tidak hanya perusahaan besar tetapi juga perusahaan kecil dan startup, yang sering kali memiliki kapasitas lebih besar untuk inovasi disruptif. Ini bisa mencakup kredit pajak yang ditargetkan untuk bisnis kecil, hibah untuk inovasi tahap awal, dan kebijakan yang mendorong persaingan dan mengurangi hambatan untuk masuknya pemain baru.
Meskipun Indonesia telah secara signifikan meningkatkan pengeluaran R&D selama periode yang panjang, manfaatnya belum tersebar merata, yang berkontribusi pada perlambatan pertumbuhan produktivitas. Pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan kembali penggunaan kebijakan industri tradisional, yang mungkin telah menyebabkan penurunan persaingan dan penurunan hasil produktivitas. Ini bukan hanya tentang jumlah total yang dibelanjakan untuk R&D tetapi juga bagaimana R& D itu dialokasikan. Dengan menciptakan ekosistem inovasi yang lebih inklusif, Indonesia dapat lebih memanfaatkan bakat inovatifnya, mendorong pertumbuhan ekonomi,
Oleh: Indriani Nova, Pengamat Perkoperasian Transparansi menjadi salah satu fondasi utama dalam tata kelola kelembagaan yang sehat…
Oleh: Aryo Wijaya, Pemerhati Hukum dan Kemasyarakatan Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam memperkuat supremasi hukum nasional melalui pembaruan…
Oleh: Sidya Wiratma, Pengamat Ekonomi Internasional Pemerintah Indonesia menunjukkan kesiapan menghadapi kebijakan proteksionis Amerika Serikat melalui pendekatan yang…
Oleh: Indriani Nova, Pengamat Perkoperasian Transparansi menjadi salah satu fondasi utama dalam tata kelola kelembagaan yang sehat…
Oleh: Aryo Wijaya, Pemerhati Hukum dan Kemasyarakatan Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam memperkuat supremasi hukum nasional melalui pembaruan…
Oleh: Sidya Wiratma, Pengamat Ekonomi Internasional Pemerintah Indonesia menunjukkan kesiapan menghadapi kebijakan proteksionis Amerika Serikat melalui pendekatan yang…