Mandatori Biodisel B40 Diklaim Menghemat Devisa Rp147,5 Triliun

Mandatori Biodisel B40 Diklaim Menghemat Devisa Rp147,5 Triliun
NERACA
Jakarta - Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM) Eniya Listiani Dewi menyatakan bahwa mandatori penggunaan bahan bakar campuran biodiesel 40 persen (B40) menghemat biaya impor Rp147,5 triliun. Eniya di Jakarta, Jumat mengatakan bahwa program mandatori bahan bakar nabati (BBN) berbasis minyak sawit dapat mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM), sehingga menghemat devisa. "Penghematan devisa untuk mandatori penggunaan B40 sebesar Rp147,5 triliun," kata Eniya.
Sementara itu, lanjut Eniya, untuk penerapan B35, Indonesia dapat menghemat devisa hingga Rp122,98 triliun. Dengan demikian terjadi penghematan devisa sekitar Rp25 triliun dengan tidak mengimpor BBM jenis minyak solar. Eniya menuturkan bahwa selain memberikan manfaat secara ekonomi, program mandatori biodiesel B40 telah memberikan manfaat signifikan di berbagai aspek sosial, lingkungan termasuk peningkatan nilai tambah crude palm oil (CPO) menjadi biodiesel sebesar Rp20,9 triliun. "Selain itu penyerapan tenaga kerja lebih dari 14 ribu orang (off-farm) dan 1,95 juta orang (on-farm), serta pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 41,46 juta ton CO2e per tahun," jelasnya.
Pada tahun 2025, pemerintah menetapkan alokasi B40 sebanyak 15,6 juta kiloliter (kl) biodiesel dengan rincian, 7,55 juta kl diperuntukkan bagi public service obligation (PSO). Sementara 8,07 juta kl dialokasikan untuk non-PSO. Implementasi program mandatori B40 ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No 341.K/EK.01/MEM.E/2024 tentang Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel Sebagai Campuran Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar Dalam Rangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Sebesar 40 Persen. Penyaluran biodiesel ini akan didukung oleh 24 Badan Usaha (BU) BBN yang menyalurkan biodiesel, 2 BU BBM yang mendistribusikan B40 untuk PSO dan non-PSO, serta 26 BU BBM yang khusus menyalurkan B40 untuk non-PSO. 
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia resmi menetapkan mandatori penggunaan bahan bakar campuran biodiesel 40 persen (B40) resmi berlaku sejak 1 Januari 2025. Bahlil dalam jumpa pers, di Jakarta, Jumat, mengatakan bahwa pada hari ini Kementerian ESDM telah melakukan rapat internal membahas secara detail terkait dengan urusan biodiesel B40. "Kita sudah memutuskan dari Kementerian ESDM tentang peningkatan dari B35 ke B40. Dan hari ini kita umumkan bahwa berlaku per 1 Januari 2025," kata Bahlil.
Langkah ini, menurut Bahlil, sejalan dengan agenda Astacita Presiden RI Prabowo Subianto terkait ketahanan dan swasembada energi, serta target pemerintah mencapai net zero emission di tahun 2060. Pemerintah bahkan menyiapkan rencana peningkatan lebih lanjut ke B50 pada 2026. "Kalau ini berjalan baik, atas arahan Presiden Prabowo, kita akan mendorong implementasi B50 pada 2026 dan kalau ini kita lakukan, maka impor kita terhadap solar, Insya Allah dipastikan sudah tidak ada lagi di tahun 2026. Jadi program (mandatori biodiesel) ini bagian daripada perintah Presiden tentang ketahanan energi dan mengurangi impor," tambah Bahlil.
Disisi lain, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) meminta pemerintah tidak menaikkan Pungutan Ekspor (PE) minyak sawit mentah (CPO) untuk mendukung kebijakan penerapan mandatori biodiesel B40 awal 2025. Ketua Umum SPKS Sabarudin mengatakan menaikkan tarif PE CPO menjadi 10 persen dari sebelumnya 7,5 persen, bukanlah opsi atau pilihan terbaik sebab kenaikan tersebut akan merugikan petani sawit. "Dalam setiap beban ekonomi termasuk pajak dan Pungutan Ekspor, yang dibebankan kepada perdagangan CPO akan diteruskan hingga petani kelapa sawit sebagai mata rantai ekonomi terendah," kata Sabarudin.
Menurut dia, dengan kenaikan tarif PE sebesar 2,5 persen tersebut, akan terjadi penurunan harga di TBS petani kelapa sawit berkisar Rp300 hingga Rp500 per kg TBS. Sebelumnya pemerintah menetapkan akan menaikkan PE CPO dari 7,5 persen menjadi 10 persen berdasarkan harga referensi Kementerian Perdagangan RI guna mendukung target implementasi program Biodiesel B40 yang akan mulai di berlakukan pada pada 1 Januari 2025.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan peningkatan pungutan ini, akan menjadi sumber pendanaan utama insentif biodiesel, yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Menurutnya, peningkatan tarif PE akan berlaku setelah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur perubahan ini diterbitkan. Namun, Menko Airlangga belum memberikan detil mengenai tarif baru untuk produk olahan sawit lainnya.
Acuan tarif PE CPO saat ini diatur dalam PMK Nomor 62 Tahun 2024, dengan tarif 7,5 persen dari harga referensi Kementerian Perdagangan RI. Sabarudin menyebutkan pungutan ekspor selama ini dikelola oleh BPDPKS, dengan penggunaan sebesar 90 persen untuk subsidi perusahaan-perusahaan yang ditugaskan untuk memproduksi biodiesel. "Jadi sebenarnya yang diuntungkan dengan pungutan ekspor itu hanya perusahaan-perusahaan yang bermain di industri biodiesel, sementara petani sawit dikorbankan dengan penurunan harga TBS," katanya.

 

NERACA

Jakarta - Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM) Eniya Listiani Dewi menyatakan bahwa mandatori penggunaan bahan bakar campuran biodiesel 40 persen (B40) menghemat biaya impor Rp147,5 triliun. Eniya di Jakarta, Jumat mengatakan bahwa program mandatori bahan bakar nabati (BBN) berbasis minyak sawit dapat mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM), sehingga menghemat devisa. "Penghematan devisa untuk mandatori penggunaan B40 sebesar Rp147,5 triliun," kata Eniya.

Sementara itu, lanjut Eniya, untuk penerapan B35, Indonesia dapat menghemat devisa hingga Rp122,98 triliun. Dengan demikian terjadi penghematan devisa sekitar Rp25 triliun dengan tidak mengimpor BBM jenis minyak solar. Eniya menuturkan bahwa selain memberikan manfaat secara ekonomi, program mandatori biodiesel B40 telah memberikan manfaat signifikan di berbagai aspek sosial, lingkungan termasuk peningkatan nilai tambah crude palm oil (CPO) menjadi biodiesel sebesar Rp20,9 triliun. "Selain itu penyerapan tenaga kerja lebih dari 14 ribu orang (off-farm) dan 1,95 juta orang (on-farm), serta pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 41,46 juta ton CO2e per tahun," jelasnya.

Pada tahun 2025, pemerintah menetapkan alokasi B40 sebanyak 15,6 juta kiloliter (kl) biodiesel dengan rincian, 7,55 juta kl diperuntukkan bagi public service obligation (PSO). Sementara 8,07 juta kl dialokasikan untuk non-PSO. Implementasi program mandatori B40 ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No 341.K/EK.01/MEM.E/2024 tentang Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel Sebagai Campuran Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar Dalam Rangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Sebesar 40 Persen. Penyaluran biodiesel ini akan didukung oleh 24 Badan Usaha (BU) BBN yang menyalurkan biodiesel, 2 BU BBM yang mendistribusikan B40 untuk PSO dan non-PSO, serta 26 BU BBM yang khusus menyalurkan B40 untuk non-PSO. 

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia resmi menetapkan mandatori penggunaan bahan bakar campuran biodiesel 40 persen (B40) resmi berlaku sejak 1 Januari 2025. Bahlil dalam jumpa pers, di Jakarta, Jumat, mengatakan bahwa pada hari ini Kementerian ESDM telah melakukan rapat internal membahas secara detail terkait dengan urusan biodiesel B40. "Kita sudah memutuskan dari Kementerian ESDM tentang peningkatan dari B35 ke B40. Dan hari ini kita umumkan bahwa berlaku per 1 Januari 2025," kata Bahlil.

Langkah ini, menurut Bahlil, sejalan dengan agenda Astacita Presiden RI Prabowo Subianto terkait ketahanan dan swasembada energi, serta target pemerintah mencapai net zero emission di tahun 2060. Pemerintah bahkan menyiapkan rencana peningkatan lebih lanjut ke B50 pada 2026. "Kalau ini berjalan baik, atas arahan Presiden Prabowo, kita akan mendorong implementasi B50 pada 2026 dan kalau ini kita lakukan, maka impor kita terhadap solar, Insya Allah dipastikan sudah tidak ada lagi di tahun 2026. Jadi program (mandatori biodiesel) ini bagian daripada perintah Presiden tentang ketahanan energi dan mengurangi impor," tambah Bahlil.

Pungutan Ekspor

Disisi lain, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) meminta pemerintah tidak menaikkan Pungutan Ekspor (PE) minyak sawit mentah (CPO) untuk mendukung kebijakan penerapan mandatori biodiesel B40 awal 2025. Ketua Umum SPKS Sabarudin mengatakan menaikkan tarif PE CPO menjadi 10 persen dari sebelumnya 7,5 persen, bukanlah opsi atau pilihan terbaik sebab kenaikan tersebut akan merugikan petani sawit. "Dalam setiap beban ekonomi termasuk pajak dan Pungutan Ekspor, yang dibebankan kepada perdagangan CPO akan diteruskan hingga petani kelapa sawit sebagai mata rantai ekonomi terendah," kata Sabarudin.

Menurut dia, dengan kenaikan tarif PE sebesar 2,5 persen tersebut, akan terjadi penurunan harga di TBS petani kelapa sawit berkisar Rp300 hingga Rp500 per kg TBS. Sebelumnya pemerintah menetapkan akan menaikkan PE CPO dari 7,5 persen menjadi 10 persen berdasarkan harga referensi Kementerian Perdagangan RI guna mendukung target implementasi program Biodiesel B40 yang akan mulai di berlakukan pada pada 1 Januari 2025.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan peningkatan pungutan ini, akan menjadi sumber pendanaan utama insentif biodiesel, yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Menurutnya, peningkatan tarif PE akan berlaku setelah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur perubahan ini diterbitkan. Namun, Menko Airlangga belum memberikan detil mengenai tarif baru untuk produk olahan sawit lainnya.

Acuan tarif PE CPO saat ini diatur dalam PMK Nomor 62 Tahun 2024, dengan tarif 7,5 persen dari harga referensi Kementerian Perdagangan RI. Sabarudin menyebutkan pungutan ekspor selama ini dikelola oleh BPDPKS, dengan penggunaan sebesar 90 persen untuk subsidi perusahaan-perusahaan yang ditugaskan untuk memproduksi biodiesel. "Jadi sebenarnya yang diuntungkan dengan pungutan ekspor itu hanya perusahaan-perusahaan yang bermain di industri biodiesel, sementara petani sawit dikorbankan dengan penurunan harga TBS," katanya.

BERITA TERKAIT

Perkuat Pangsa Pasar Eksternal dan Diversifikasi Produk, WSBP Catatkan NKB Rp295,35 Miliar

  NERACA Jakarta - PT Waskita Beton Precast Tbk (kode saham: WSBP) mencatatkan nilai perolehan Nilai Kontrak Baru (NKB) sebesar…

19 Ribu Debitur UMKM Telah Dihapustagih Utangnya

19 Ribu Debitur UMKM Telah Dihapustagih Utangnya  NERACA Jakarta - Menteri Usaha Mikro, Kecil, Menengah Maman Abdurrahman mengatakan bahwa per…

DKI Bahas Rencana Perluasan MRT Hingga ke Tangsel

DKI Bahas Rencana Perluasan MRT Hingga ke Tangsel  NERACA Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo mengatakan saat ini …

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Perkuat Pangsa Pasar Eksternal dan Diversifikasi Produk, WSBP Catatkan NKB Rp295,35 Miliar

  NERACA Jakarta - PT Waskita Beton Precast Tbk (kode saham: WSBP) mencatatkan nilai perolehan Nilai Kontrak Baru (NKB) sebesar…

19 Ribu Debitur UMKM Telah Dihapustagih Utangnya

19 Ribu Debitur UMKM Telah Dihapustagih Utangnya  NERACA Jakarta - Menteri Usaha Mikro, Kecil, Menengah Maman Abdurrahman mengatakan bahwa per…

DKI Bahas Rencana Perluasan MRT Hingga ke Tangsel

DKI Bahas Rencana Perluasan MRT Hingga ke Tangsel  NERACA Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo mengatakan saat ini …

Berita Terpopuler